Ketika cahaya tauhid padam di muka bumi, maka kegelapan yang tebal
hampir saja menyelimuti akal. Di sana tidak tersisa orang-orang yang
bertauhid kecuali sedikit dari orang-orang yang masih mempertahankan
nilai-nilai ajaran tauhid. Maka Allah SWT berkehendak dengan rahmat-
Nya yang mulia untuk mengutus seorang rasul yang membawa ajaran
langit untuk mengakhiri penderitaan di tengah-tengah kehidupan. Dan
ketika malam mencekam, datanglah matahari para nabi. Kedatangan
Nabi tersebut sebagai bukti terkabulnya doa Nabi Ibrahim as kekasih
Allah SWT, dan sebagai bukti kebenaran berita gembira yang disampaikan
oleh Nabi Isa as.
Allah SWT menyampaikan selawatnya kepada Nabi itu, sebagai bentuk
rahmat dan keberkahan. Para malaikat pun menyampaikan selawat
kepadanya sebagai bentuk pujian dan permintaan ampunan, sedangkan
orang-orang mukmin berselawat kepadanya sebagai bentuk
penghormatan. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya berselawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi
dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya Allah SWT mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada
kaum dan zaman mereka saja, namun Allah SWT mengutus beliau saw
sebagai rahmat bagi alam semesta. Beliau Nabi Muhammad saw datang
dengan membawa rahmat yang mutlak untuk kaum di zamannya dan
untuk seluruh zaman. Allah SWT berfirman, "Dan aku tidak mengutusmu
kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta."
Hakikat dakwah para nabi sebelumnya adalah menyebarkan Islam, begitu
juga ajaran yang dibawa oleh Nabi yang terakhir adalah Islam. Beliau saw
adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, anak seorang wanita
Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin anak-anak Nabi Adam as. Beliau
saw adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta rahmat Allah SWT
yang dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau saw lahir di tanah Arab. Ketika itu malam gelap, tiba-tiba Abdul
Muthalib membayangkan bahawa matahari telah terbit, lalu ia bangun
dan ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam, keheningan yang
luar biasa menyelimuti gurun yang terbentang. Ia menuju pintu khemah,
lalu menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di
selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu khemah dan tidur.
Belum lama ia dikuasai oleh rasa kantuk yang amat sangat, sehingga ia
kembali bermimpi untuk kedua kalinya. Segala sesuatunya tampak jela s
kali ini, Sesungguhnya sesuatu yang besar memerintahnya untuk
melaksanakan perintah yang sangat penting, "Galilah zamzam!" Dalam
mimpinya Abdul Muthalib bertanya: "Apakah itu zamzam?" Kemudian
untuk kedua kalinya perintah itu mengatakan bahawa ia diperintahkan
untuk menggali zamzam. Belum lama Abdul Muthalib melihat sesuatu
yang bersembunyi itu, sehingga ia berdiri di tempat tidurnya dan hatinya
berdebar dengan keras. Abdul Muthalib bangkit, lalu ia membuka pintu
khemah kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah erti zamzam? Tiba-
tiba fikirannya dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh, bahawa
pasti zamzam adalah sebuah sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh
suara yang datang dalam tidur itu agar ia menggali sumur, di sana tidak
ada jawapan selain satu jawapan dari pertanyaan ini, yaitu agar orang-
orang yang berhaji dan berkeliling di sekitar Ka'bah dapat meminumnya.
Tetapi apa nilai dari sumur itu sendiri, bukankah di sana terdapat banyak
sumur yang dapat diminum oleh orang-orang yang berhaji.
Abdul Muthalib duduk di tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan
malam, ia memikirkan bintang-bintang sembari merenungkan cerita-
cerita kuno yang mengatakan tentang sumur yang memancar darinya air
sebagai akibat dari pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada cerita
yang mengatakan bahawa sumur itu telah binasa sesuai dengan
perjalanan zaman.
Matahari terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib keluar
menemui orang-orang, dan menceritakan kepada mereka bahawa ia akan
menggali sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan ke tempat
yang di situ ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya. Orang-
orang Quraisy menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh
Abdul Muthalib terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala yang
biasa disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang
bernama Ashaf dan Nalah. Abdul Muthalib merasa bahawa usahanya sia-
sia untuk meyakinkan kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali
sumur. Mereka mengetahui bahawa Abdul Muthalib tidak mempunyai
sesuatu selain hanya seorang anak. bahawasanya ia tidak memiliki anak-
anak yang dapat menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan
keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi dengan kabilah-kabilah
yang terjalin suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang kuat dan usaha
untuk melindungi keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul
Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah
dan mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika aku
mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa,
sehingga mereka mampu melindungiku saat aku menggali sumur
Zamzam, maka aku akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi
Ka'bah sebagai bentuk korban."
Pintu langit pun terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu
tahun, isterinya melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun ia
melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun yang ke sembilan, sehingga
Abdul Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah
zaman dan anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang memiliki kemampuan.
Kemudian Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya yang
diisyaratkan dalam mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk
mengorbankan salah satu anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari
nazarnya. Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah
nama anaknya yang paling kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu
keluar dalam undian, maka orang-orang yang ada disekitarnya berusaha
memberontak, mereka mengatakan bahawa mereka tidak akan
membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih di kawasan
Arab, ia telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak
pernah menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan
suaranya lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai
senyuman yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan rohaninya
demikian jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di
tengah-tengah gurun hati-hati yang keras, oleh kerana itu semua manusia
datang kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para
pembesar Quraisy berkata, "Lebih baik kami menyembelih anak-anak
kami daripada ia harus disembelih, dan menjadikan anak-anak kami
sebagai tebusan baginya. Kami tidak akan menemukan seseorang pun
yang lebih baik dari dia seandainya kami menyembelihnya,
pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan kami bertanya
kepada dukun."
Abdul Muthalib tampak tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia
mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian
mereka mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata: "Berapakah
taruhan yang kalian miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh ekor unta."
Dukun itu berkata: "Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali
undian atasnya dan atas nama Abdullah, jika undian datang padanya,
maka tambahlah sepuluh ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian
tersebut, demikian hingga tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor
unta yang besar. Undian itu pun mengeluarkan terus nama Abdullah,
hingga Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, kemudian lagi-
lagi yang keluar nama Abdullah sehingga mereka pun menambah sepuluh
ekor unta lagi sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus ekor unta.
Setelah itu, datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat
demikian gembiranya sehingga berlinangan air mata, kegembiraan dari
mereka kerana melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian
disembelihlah seratus ekor unta di sisi Ka'bah, dan mereka
membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak disentuh oleh seseorang
pun dan juga disentuh oleh binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib sangat gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu
ia menetapkan untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah
Arab, kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke
rumah Wahab, dan di sana ia meminang untuknya Aminah binti Wahab.
Kemudian Aminah binti Wahab menikah dengan Abdullah bin Abdul
Muthalib, seorang pemuda yang paling mulia dan paling dicintai oleh
orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di gunung-gunung Mekah, agar para musafir dan
para tamu mengetahui tempat diadakannya acara tersebut, yaitu acara
pernikahan antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah haiwan-
haiwan korban, dan manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan
binatang-binatang buas dan burung makan darinya. Abdullah tinggal
bersama isterinya dua bulan di rumah pernikahan, hingga suatu hari ada
khabar bahawa kafilah akan berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti
kafilah tersebut dan melakukan perjalanan bersama kafilah perdagangan
Quraisy
menuju Syam, itu adalah kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah
binti Wahab bersamanya. Wajah Abdullah yang mulai tampak berseri-seri
mengucapkan selamat tinggal kepada Aminah, lalu setelah itu bayang-
bayang wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan mereka pun hilang.
Aminah tidak mengetahui bahawa itu adalah kesempatan terakhirnya
setelah dua bulan dari perkawinannya. Abdullah mengunjungi paman-
pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, dan di sana ia meletakkan
jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah bin Abdul Muthalib kini telah meninggal. Saat itu ia berusia dua
puluh lima tahun. Khabar kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat
memilukan hati orang-orang yang mendengarnya, sehingga khabar itu
sampai ke isterinya. Aminah tampak menangis tersedu-sedu dan ia
tampak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan tidak
mengetahui jawapannya, mengapa Allah SWT menebusnya dengan
seratus unta jika kemudian Dia menetapkan kematian baginya.
Tidak lama kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya janin dengan gerakan
yang sedikit, ia tampak mulai mengetahui bahawa ia sedang hamil.
Aminah menangis dua kali, pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan
kali ini ia menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia
sempat dilahirkan. Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya bahawa
janin yang dikandungnya akan menjadi anak yatim, ayahnya meninggal
saat ia dilahirkan.
Anak yatim ini harus menanggung beban anak-anak yatim dan orang-
orang fakir serta orang-orang yang sedih di muka bumi. Ia akan menjadi
Nabi yang terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi
rahmat yang dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui
makna rahmat kecuali orang yang merasakan penderitaan dan kepahitan.
Inilah anak kecil yang sebelum dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan
berlalulah hari demi hari, lalu hilanglah tangisan penderitaan dan mata
Aminah pun telah mengering, namun kesedihannya tampak menyerupai
sebuah pohon yang tumbuh bersama kehausan.
Kemudian kesedihannya hari demi hari semakin ia rasakan tetapi
kesedihannya itu mulai tidak tampak ketika ia mendapatkan bahawa
janin yang dikandungnya tidaklah memberatkannya, sebaliknya ia
merasakan betapa ringannya janin yang dikandungnya bagaikan merpati
yang berkeliling di seputar Ka'bah, dan seandainya kesedihannya yang
selalu mengitarinya, maka tidak ada wanita yang lebih bahagia darinya
dengan kehamilan yang ringan ini. Janin itu adalah manusia yang mulia di
sisi Tuhan, kemudian semakin dekatlah hari kelahirannya. Sementara itu,
pasukan Abrahah mendekati Mekah.
Abrahah adalah seorang penguasa Yaman, yaitu pada saat Yaman tunduk
kepada Habasyah setelah penguasa Persia diusir. Di Yaman ia
membangun suatu gereja yang menunjukkan bangunan yang
menakjubkan. Abrahah membangunnya dengan niat agar orang-orang
Arab berpaling dari Baitul Haram di Mekah. Ia melihat betapa orang-
orang Yaman tertarik dengan rumah tersebut. Dan ketika ia tidak melihat
gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik seperti itu dan tidak
mampu menarik hati orang-orang Arab, maka ia berkeinginan kuat untuk
menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang tidak menuju ke Ka'bah lagi
melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia menyiapkan pasukan
yang besar yang dipenuhi dengan berbagai senjata, kemudian pasukan itu
menuju Ka'bah.
Pasukan Abrahah terdiri dari kelompok gajah yang besar yang
digunakannya untuk menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu bagaikan
tank-tank yang kita gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar
rencana tersebut. Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai
penyembah berhala, meskipun demikian mereka sangat memberikan
penghargaan dan penghormatan terhadap Ka'bah, kerana mereka
meyakini bahawa mereka adalah anak-anak Nabi Ibrahim as dan Nabi
Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan pasukan tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang mulia
dari penduduk Yaman yang bernama Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan
dari kalangan orang-orang Arab untuk memerangi Abrahah, sehingga ada
beberapa orang yang mengikutinya. Abrahah berhadapan dengan tentera
tersebut tetapi pasukan yang sedikit itu dapat dengan mudah dipatahkan
oleh pasukan kafir yang besar itu. Kemudian Dunaher pun kalah dan
menjadi tawanan Abrahah. Pasukan Abrahah tersebut juga sempat
ditentang oleh Nufail bin Hubaid al-Aslami, namun Abrahah pun dapat
mengalahkan mereka dan berhasil menawan Nufail.
Kemudian ketika Abrahah melewati kota Taif, menghadaplah kepadanya
beberapa orang tokoh setempat, dan mereka tampak gementar
ketakutan dan berkata kepadanya bahawa sesungguhnya 'rumah' yang
ditujunya tidak berada di tempat mereka, tetapi berada di Mekah. Hal
itu mereka sampaikan dengan maksud untuk memalingkannya dari rumah
berhala mereka, di mana mereka membangun di dalamnya berhala yang
bernama Latha kemudian mereka mengutus seseorang yang akan
menunjukkan kepada Abrahah letak Ka'bah. Ketika Abrahah berada di
antara Taif dan Mekah, ia mengutus seorang pemimpin pasukannya
sehingga ia melihat keadaan Mekah. Di sana ia merampas banyak harta
dari kaum Quraisy dan selain mereka, dan di antara yang dirampasnya
adalah dua ratus unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim. Saat itu Abdul
Muthalib adalah salah seorang pembesar Quraisy dan pemimpin mereka,
serta pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan utusan Abrahah di Mekah telah menimbulkan gejolak pada
kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak, begitu juga kaum
Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahawa mereka tidak memiliki
kemampuan untuk melawan Abrahah, sehingga mereka membiarkannya,
lalu tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang
kuat yang sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa oleh utusannya
itu, Abrahah menyampaikan bahawa ia tidak datang untuk memerangi
mereka, namun ia datang hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika
mereka tidak menentangnya, maka darah mereka tidak akan
ditumpahkan. Lalu utusan itu menemui Abdul Muthalib, ia menceritakan
tentang keinginan Abrahah. Abdul Muthalib berkata: "Kami tidak ingin
memeranginya kerana kami tidak memiliki kekuatan. Ka'bah adalah
rumah Allah SWT yang mulia dan suci, dan rumah kekasih-Nya Ibrahim.
Jika Ia mencegahnya, maka itu adalah rumah-Nya dan tempat suci-Nya,
namun jika Ia membiarkannya, maka demi Allah kami tidak memiliki
kekuatan untuk mempertahankannya." Kemudian utusan itu pergi
bersama Abdul Muthalib menuju Abrahah.
Abdul Muthalib adalah seseorang yang sangat terpandang dan sangat
mulia. Ia memiliki kewibawaan dan kehormatan yang mengagumkan.
Ketika Abrahah melihatnya, Abrahah menampakkan penghormatan
kepadanya. Abrahah memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya,
ia tidak suka bahawa ia duduk bersamanya di kursi kekuasaannya. Lalu
Abrahah turun dari kerusinya dan duduk di atas sebuah permaidani dan
mendudukkan Abdul Muthalib di sisinya. Kemudian ia berkata kepada
penerjemahnya: "Katakan padanya apa kebutuhannya?" Abdul Muthalib
berkata: "Kebutuhanku adalah agar Abrahah mengembalikan dua ratus
ekor unta yang diambilnya dariku" Ketika Abdul Muthalib mengatakan
demikian, wajah Abrahah berubah, lalu ia berkata kepada
penerjemahnya: "Katakan padanya sungguh aku merasa kagum ketika
melihatnya, kemudian aku merasakan kehati-hatian saat berbicara
dengannya, apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus ekor
unta yang telah aku ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang
merupakan simbol agamanya dan datuk-datuknya, yang aku datang untuk
menghancurkannya dan dia tidak menyinggungnya sama sekali" Abdul
Muthalib menjawab: "Aku adalah pemilik unta, sedangkan pemilik rumah
itu adalah Tuhan yang melindunginya." Abrahah berkata: "Dia tidak akan
mampu melindunginya dariku." Abdul Muthalib menjawab: "Lihat saja
nanti!"
Selesailah dialog antara Abdul Muthalib dan Abrahah. Abrahah pun
mengembalikan unta yang telah dirampasnya. Abdul Muthalib pergi
menemui orang-orang Quraisy dan menceritakan apa yang dialaminya,
dan ia memerintahkan mereka untuk meninggalkan Mekah dan berlindung
dibalik gua-gua di gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan oleh
pemiliknya. Aminah binti Wahab keluar ke gunung-gunung di dekat kota
Mekah kemudian malaikat turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan memegangi pintu Ka'bah dan berdiri bersama
dengan sekelompok orang-orang Quraisy, mereka berdoa kepada Allah
SWT dan meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat memerintahkan
gajah-gajah tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah itu pun tetap di
tempatnya dan mentaati perintah para malaikat, kemudian gajah-gajah
itu menerima pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu tetap berdiam
di tempatnya, gajah-gajah itu tampak gementar dan berteriak tetapi
lagi-lagi gajah-gajah itu menolak untuk bergerak dan tidak bergerak
selangkah pun. Abrahah bertanya: "Mengapa pasukan tidak bergerak?"
Kemudian dikatakan kepadanya bahawa gajah-gajah menolak untuk
bergerak. Abrahah mengangkat cemetinya. Dengan muka emosi, ia ingin
melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu bersinar dan ia duduk di khemahnya. Ketika ia keluar,
matahari bersembunyi di balik segerombolan burung. Abrahah
mengangkat pandangannya ke arah langit. Mula-mula ia membayangkan
bahawa ia melihat sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia mengamat-
amati awan itu. Dan ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah
sekelompok burung yang menutupi cahaya matahari dan menyerupai
awan yang tebal. Burung ababil, burung yang banyak.
Gajah-gajah semakin berteriak dengan kencang dan tampak ketakutan.
Dan rasa takut itu kini menghinggapi seluruh pasukan. Abrahah berteriak
di tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan untuk maju secara
paksa. Kemudian terbukalah salah satu jendela dari jendela al-Jahim,
dan burung-burung itu menghujani pasukan dengan batu dari Sijil, yaitu
batu yang sama yang pernah dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu
menyerupai bom-bom atom yang digunakan saat ini.
Jika Anda membaca buku-buku kuno, maka Anda akan mengetahui
bagaimana peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda akan
membayangkan bahawa Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang
menghancurkan yang tidak diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali
sebahagian darinya setelah empat belas abad dari peristiwa tersebut.
Buku-buku itu mengatakan bahawa pasukan itu dihancurkan dengan
penghancuran yang dahsyat.
Para tentera Abrahah kembali dalam keadaan binasa di mana daging-
daging dari tubuh mereka berciciran di jalan. Abrahah pun mendapatkan
luka dan mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan dagingnya
terpisah satu persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati.
Kemudian jasad para pasukannya tersebar dan berciciran di bumi, seperti
tanaman yang dimakan oleh binatang. Setelah mendekati setengah abad,
turunlah suatu surah di Mekah yang menceritakan tentang peristiwa itu:
"Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah
bertindak terhadap tentera gajah? Bukankah Dia telah menjadikan
tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia? Dan Dia
mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang
melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
lalu Dia menjadikan mereka seperti daun yang dimakan (ulat)." (QS.
al-Fil: 1-5)
Pasukan gajah yang ingin memporak-porandakan Mekah dikalahkan.
Kemudian mereka dihancurkan dan Tuhan pemilik Ka'bah berhasil
melindungi rumah suci-Nya. Perlindungan tersebut bukan sebagai
penghormatan bagi orang yang tinggal di rumah itu dan bukan sebagai
bentuk pengkabulan doa kaum yang menyembah berhala yang memenuhi
tempat itu. Allah SWT sebagai Pelindung Ka'bah memeliharanya kerana
adanya hikmah yang tinggi; Allah SWT menginginkan sesuatu bagi rumah
itu; Allah SWT ingin melindunginya agar tempat itu menjadi tempat yang
damai bagi manusia dan supaya tempat itu menjadi pusat dari akidah
yang baru dan menjadi tanah bebas yang aman, yang tidak dikuasai oleh
seseorang pun dari luar dan juga tidak didominasi oleh pemerintahan
asing yang akan membatasi dakwah. Yang demikian itu kerana di sana
terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah yang lahir di sana seorang
anak di mana ibunya bernama Aminah binti Wahab dan ayahnya adalah
Abdullah, salah seorang tokoh Arab. Anak itu belum dilahirkan dan belum
dapat tugas kenabian dan ia belum memikul Islam di atas pundaknya dan
belum menjadi rahmat bagi alam semesta. Kemudian datanglah Abrahah
yang ingin menghancurkan semua ini tanpa ia mengetahui semua rahsia
ini.
Tragedi yang menimpa Abrahah adalah kerana bahawa ia berusaha
menentang kehendak Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu menghancurkannya
dengan mukjizat yang mengagumkan. Datanglah banyak burung dengan
membawa batu-batuan yang tidak didengar suaranya. Kemudian burung-
burung melemparkan batu-batu itu kepada Abrahah berserta tenteranya.
Semua ini berdasarkan rencana Ilahi terhadap rumah-Nya dan agama-Nya
serta nabi-Nya sebelum orang mengetahui bahawa Nabi Islam telah
bersiap-siap untuk meninggalkan tempat tidurnya di perut ibunya dan
mulai memasuki kehidupan yang keras di muka bumi.
Di tengah-tengah kegembiraan Mekah kerana keselamatan penghuninya
dan selamatnya Ka'bah, Aminah binti Wahab bermimpi: di tengah suatu
malam ia menyaksikan dirinya berdiri sendirian di tengah-tengah gurun,
dan telah keluar dari dirinya suatu cahaya besar yang menyinari timur
dan barat dan terbentang hingga langit. Aminah tiba-tiba terbangun dari
tidurnya namun ia tidak mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah hari demi hari dari tahun gajah. Dan pada waktu sahur dari
malam Senin hari kedua belas dari bulan Rabiul Awal, Aminah melahirkan
seorang anak kecil yang yatim yang bernama Muhammad bin Abdillah bin
Abdul Muthalib, seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum ia dilahirkan, dunia mati kerana kehausan padanya. Kehausan
dunia sangat besar kepada cinta, rahmat, dan keadilan. Sekarang teiah
berlalu 600 tahun dari kelahiran al-Masih dan orang-orang Masehi telah
menjauhi ajaran cinta, bahkan keyakinan-keyakinan berhalaisme telah
meresap kepada sebahagian kelompok mereka dan kejernihan ajaran
tauhid telah ternodai. Sedangkan orang-orang Yahudi telah meninggalkan
wasiat-wasiat Musa dan mereka kembali menyembah lembu yang terbuat
dari emas. Dan setiap orang dari mereka lebih memilih untuk memiliki
lembu emas yang khusus. Demikianlah, berhalaisme telah menyerang di
bumi. Bumi dipenuhi oleh kegelapan. Akal disingkirkan dan Tuhan
dilupakan dan mereka menyerahkan diri mereka kepada pembohong.
Ketika jantung dunia telah terkena kekeringan, maka memancarlah dari
timur suatu mata air keimanan yang jernih yang menjadi puas dengannya
separa dunia. Dan mukjizat besar terjadi ketika mata air ini
mengeluarkan air yang jernih dari jantung gurun yang paling besar
ketandusannya di dunia, yaitu gurun jazirah Arab. Berkenaan dengan
penggambaran masa tersebut, dalam hadis yang mulia dikatakan:
"Sesungguhnya Allah melihat penduduk bumi lalu Dia murka kepada
mereka, baik orang-orang Arab mahupun orang-orang Ajam kecuali
sebahagian kecil dari Ahlul kitab."
Di tenda yang kasar, lahirlah seorang anak yatim yang kemudian
bertanggungjawab untuk memberikan minum kepada dunia yang haus
pada cinta, keadilan, kebebasan, serta kebenaran. Sementara itu,
beberapa langkah dari tempat kelahirannya terdapat berhala-berhala
yang memenuhi Baitul 'Athiq dan sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail agar menjadi rumah Allah SWT dan Dia disembah
di dalamnya dan manusia merasa tenteram di dalamnya. Di rumah yang
kuno ini - yang dibangun sebelumnya oleh Adam - dipenuhi patung-
patung tuhan yang terbuat dari batu dan kayu. Ini menunjukkan betapa
akal orang-orang Arab saat itu mengalami titik terendah.
Sementara itu nun jauh di sana, tepatnya di Yatsrib atau Madinah
dipenuhi oleh orang-orang Yahudi yang mereka datang di sana kerana
melarikan diri dari penindasan orang-orang Romawi. Mereka tinggal di
situ bagaikan serigala-serigala di atas tanah yang tersubur di mana
mereka melakukan monopoli dalam perdagangan. Mereka membangun
kejayaan mereka dengan memanfaatkan orang-orang Arab dan
kehairanan mereka terhadap diri mereka sendiri.
Para cendekiawan Yahudi memperdagangkan segala sesuatu, dimulai dari
emas sampai Taurat. Mereka menyembunyikan kertas-kertas darinya dan
menampakkan sebahagiannya; mereka mengubah kertas-kertas Taurat itu
untuk memperkaya diri mereka. Pada saat orang-orang Yahudi
menyembah emas dan sangat lihai melakukan persekongkolan, orang-
orang Arab justru menyembah batu dan mereka pandai berperang.
Mereka juga lihai dalam membuat syair lalu menggantungkannya di atas
tirai-tirai Ka'bah. Orang-orang Arab hidup di bawah naungan sistem
kesukuan di mana kepala suku adalah pemimpin dan nilainya sebanding
dengan anak buahnya, dan kemampuan mereka dalam berperang. Dan
keutamaan seseorang di lihat dari asal muasalnya serta nilainya juga di
lihat dari kefanatikannya serta kebanggaannya kepada nasab yang
merupakan kemuliaannya, juga kefanatikannya terhadap berhala
tertentu yang merupakan agamanya. Jadi, segala bentuk kemuliaan dan
kewibawaan tidak terbentuk kecuali dalam ruang lingkup yang sempit
dalam kabilah atau kesukuan.
Sedangkan di tempat yang jauh dari Mekah, Romawi menyerupai burung
rajawali yang lemah, namun belum sampai kehilangan kekuatannya.
Orang-orang Romawi sangat menyanjung kekuatan. Sedangkan di belahan
timur dari utara negeri Arab, orang-orang Persia menyembah api dan air.
Api tetap menyala di tempat peribadatan mereka di mana manusia rukuk
untuknya. Dan di sana terdapat danau Sawah yang dianggap suci oleh
mereka.
Sementara itu, Kisra, raja kaum Persia duduk di atas singgahsananya dan
memberikan keputusan terhadap manusia. Keputusan Kisra selalu
didengar dan dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang berani
menentangnya dan menolaknya. Orang-orang Persia berhasil
mengalahkan Romawi dan Yunani, sehingga mereka menjadi kekuatan
yang dahsyat di muka bumi. Meskipun mereka memiliki kekuatan yang
sangat luar biasa, namun penyembahan api jelas-jelas menunjukkan
betapa bodohnya mereka dan betapa kekuatan mereka diliputi oleh
kebodohan sehingga akal mereka tercabut dan mereka terhalangi untuk
mencapai kebenaran. Alhasil, kegelapan semakin meningkat di setiap
penjuru bumi dan kehidupan berubah menjadi hutan yang lebat di mana
di dalamnya seorang yang kuat akan menyingkirkan seorang yang lemah
dan di dalamnya yang menang adalah kebatilan.
Di tengah-tengah suasana yang demikian kelam, lahirlah seorang anak di
tenda Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka padamlah api yang
disembah oleh kaum Persia dan keringlah danau Sawah yang disucikan
oleh manusia, bahkan robohlah empat belas loteng dari istana Kisra. Dan
syaitan merasa bahawa penderitaan yang besar telah merobek-robek
hatinya. Ini semua sebagai simbol dimulainya kehancuran kejahatan atau
keburukan di muka bumi dan terbebasnya akal manusia dari
penyembahan terhadap sesama manusia atau terhadap hal-hal yang
bersifat khurafat. Manusia diajak hanya untuk menyembah kepada Allah
SWT. Kelahiran Rasul sebagai bukti hilangnya kelaliman, sebagaimana
kelahiran Nabi Musa yang menunjukkan kebebasan Bani Israil dari
kelaliman Fir'aun.
Ajaran Muhammad bin Abdillah merupakan ajaran revolusi yang paling
meyakinkan dan yang paling penting yang pernah dikenal di dunia; ajaran
yang bertugas untuk menyelamatkan dan membebaskan akal dan materi.
tentera Al-Quran adalah tentera yang paling adil dan paling berani untuk
menghancurkan orang-orang yang lalim. Kita akan melihat dalam sejarah
Nabi bahawa kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi Ka'bah
sebelum kelahirannya. Kemudian terjadilah peristiwa luar biasa setelah
kelahirannya di mana terjadilah peristiwa pembelahan dada pada saat
beliau masih kecil, begitu juga beliau dinaungi oleh awan di waktu kecil,
bahkan beliau terkenal pada saat masih kecil dengan kecenderungan
untuk meninggalkan permainan-permainan yang biasa dimainkan oleh
anak-anak kecil seusia beliau. Allah SWT memberikan penjagaan khusus
kepadanya sehingga Jibril as turun kepadanya dengan membawa wahyu.
Selanjutnya, mukjizatnya yang pertama adalah mukjizat yang terdapat
pada keperibadiannya dan pemikiran-pemikirannya. Itulah yang menjadi
mukjizatnya yang terbesar setelah Al-Quran; itu adalah bangunan rohani
yang tinggi di mana beliau mampu menahan penderitaan di jalan Allah
SWT. Dan dalam menegakkan kebenaran, beliau memikul berbagai
macam rintangan. Beliau melaksanakan amanat yang dikembangnya
secara sempurna dan sebaik-baik mungkin. Hal yang indah yang dikatakan
tentang mukjizat Nabi setelah diutusnya beliau adalah bahawa beliau
tidak mempunyai mukjizat selain usaha membebaskan akal: tanpa
memiliki kekuatan luar biasa selain membebaskan fikiran, tanpa dalil
selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan Isa bin Maryam telah berdakwah dan mengajak manusia untuk
menciptakan kesamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara mereka,
namun Muhammad saw diberi kurnia untuk mewujudkan persamaan,
persaudaraan, dan cinta kasih di antara orang-orang mukmin di tengah-
tengah kehidupannya dan setelah kehidupannya.
Ketika Nabi Isa mampu menghidupkan orang-orang yang mati dan
mengeluarkan mereka dari kuburan, Muhammad bin Abdillah
menghidupkan orang-orang hidup dari kematian mereka yang tidak
pernah mereka sedari. Itu adalah bentuk kematian yang paling berat.
Beliau juga mengeluarkan mereka dari kegelapan dan kebodohan menuju
cahaya ilmu, dan dari belenggu syirik dan kekufuran menuju dunia
tauhid.
Sulaiman sebagai seorang Nabi dan raja mampu memperkerjakan jin
untuk mengabdi padanya, bahkan mereka mampu terbang beribu-ribu mil
untuk menghadirkan singgasana musuh-musuhnya agar mereka semua
tercengang terhadap kemampuannya, sehingga mereka masuk Islam.
Namun Muhammad saw justru mengabdi kepada Islam hanya sebagai
seorang tentera yang sederhana. Beliau mengetahui bahawa ketika beliau
lalai sesaat saja dari dakwah di jalan Allah SWT, maka kesempatannya
dalam menyebarkan agama Islam akan hilang.
Di saat terjadi peristiwa besar dalam peperangan, tiba-tiba azan solat
dikumandangkan, sehingga para pasukan yang berperang mengerjakan
solat. Tidak ada malaikat yang turun untuk melindungi mereka ketika
solat atau mencegah datangnya anak-anak panah dari punggung mereka
saat sujud. kerana itu, hendaklah para pasukan melindungi dirinya
sendiri. Para pasukan mukmin berusaha solat secara bergantian:
sebahagian mereka solat dan sebahagian mereka bertugas untuk
menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu
kamu hendak mendirikan solat bersama-sama mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (solat) bersertamu dan
menyandang senjata, kemudian apabila mereka sujud (telah
menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari
belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang
golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu
bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap
siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin agar kamu
lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka
menyerbu kamu dengan sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah masalah itu dan tidak ada malaikat yang turun untuk
melindunginya dan menolongnya. Ini adalah masa kematangan akal dan
masa keletihan para nabi dan orang-orang mukmin. Dan sesuai kadar
keletihan mereka dalam menyampaikan ajaran Islam, mereka pun akan
mendapatkan balasan yang besar.
Pada masa para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, mereka
menghadirkan mukjizat-mukjizat kepada kaum mereka saat memulai
dakwah, sehingga kaum tersebut mempercayai apa saja yang mereka
bawa, sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah tidak menghadirkan
kepada kaumnya selain dirinya dan ketulusannya.
Allah SWT telah memutuskan untuk melindungi Musa dan
memerintahkannya untuk mengangkat gunung di atas kaumnya hingga
mereka beriman kepada Taurat, atau untuk menjatuhkan gunung
tersebut di atas mereka. Ketika mengetahui hal yang Demikian itu,
orang-orang Yahudi sujud dengan meletakkan pipi mereka di atas tanah
dan mereka mengamati bukit batu yang berada di atas kepala mereka
yang diangkat oleh tangan yang tersembunyi. Sedangkan Nabi Muhammad
bin Abdillah tak pernah memaksa seseorang pun. Berimanlah beberapa
orang kepadanya dan puaslah beberapa orang kepadanya dan matilah
bersamanya orang-orang yang mati dalam keadaan puas. Beliau tidak
membawa pedang kecuali saat panah yang beracun mendekati jantung
Islam dan mengancamnya.
Dakwah para nabi menuntut terjadinya mukjizat demi mukjizat. Ini
kerana masa kekanak-kanakan manusia serta kelemahan akal dan
hilangnya panca indera menuntut rahmat Allah SWT untuk mendatangkan
mukjizat yang sesuai dengan masa turunnya mukjizat tersebut dan
budaya masyarakat setempat. Adalah hal yang maklum bahawa di
tengah-tengah penduduk Mekah saat itu tidak terdapat orang-orang yang
cerdas atau orang-orang yang bijak yang mampu menyerap kata-kata
yang baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh Islam adalah bahawa ia tidak
diturunkan pada masa ini saja, tetapi Islam diturunkan untuk setiap
masa. Allah SWT mengetahui bahawa manusia telah memasuki masa
kematangan berfikir yang mengagumkan, maka hikmah-Nya menuntut
bahawa pernyataan yang pertama kali disebutkan dalam risalah-Nya
adalah "iqra'" (bacalah). Di samping itu, risalah tersebut mengandung
pemikiran yang universal, sistem yang membangun, dan hukum yang
mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan manusia yang
sempurna.
Adalah tidak mengurangi kehormatan para nabi sebelum Nabi Muhammad
saw di mana mereka tidak diutus di masa-masa kematangan pemikiran,
tetapi yang menambah kehormatan Nabi Muhammad saw bahawa beliau
diutus di tengah-tengah masa kematangan berfikir, dan beliau diutus
sebelum datangnya masa ini. Beliau memikul berbagai lipat cubaan yang
pernah dipikul oleh para nabi; beliau berdakwah dengan menanggung
berbagai lipat godaan dan cubaan; beliau mengalami seksaan yang
pernah dialami oleh semua para nabi; beliau mencintai Allah SWT
sebagaimana para nabi mencintai-Nya. Allah SWT memuliakannya ketika
beliau mengimami mereka di saat solat pada saat beliau melakukan Isra'
dan Mi'raj. Meskipun demikian, ketika beliau keluar pada suatu hari
menemui sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka mengutamakan
para nabi dan mendahulukannya atas mereka, maka beliau justru
menampakkan kemarahan dan wajahnya berubah. Beliau berkata:
"Janganlah kalian mengutamakan aku atas Yunus bin Mata."
Melalui pernyataan itu, beliau berusaha meletakkan suatu pondasi
pemikiran yang harus dilalui oleh kaum Muslim di mana para nabi
memang memiliki darjat tertentu di sisi Allah SWT. Boleh jadi ada nabi
yang lebih afdal atau yang lebih mulia daripada yang lain. Siapakah yang
menetapkan hal itu? Tidak ada seorang pun selain Allah SWT. Ada pun
kaum Muslim hendaklah mereka berhenti pada batas tertentu yang
seharusnya mereka berikan berkaitan dengan sopan santun terhadap para
nabi. Selama Allah SWT menyampaikan selawat kepada rasul sebagai
bentuk penghormatan dan memerintahkan mereka untuk menyampaikan
selawat kepadanya, dan selama Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain,
maka hendaklah mereka juga berselawat kepada semua nabi tanpa
perbezaan, meskipun pada bentuk selawat itu sendiri.
Sementara itu, bayi yang mungil itu yang lahir di Mekah bergerak setelah
tahun gajah. Kemudian berita tersebar di sana sini dan Sampailah ke
telinga datuknya bahawa cucunya telah dilahirkan. Abdul Muthalib segera
menuju ke tempat itu dan membawa cucunya yang yatim lalu berkeliling
dengannya di Ka'bah sambil memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak
merasa terpukau dengan nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia
tampak bingung menentukan nama yang paling tepat buat cucunya,
bahkan kebingungannya itu berlanjutan sampai enam hari, sehingga sang
Nabi di sunat. Ketika malam telah menyelimuti kawasan Mekah,
datanglah kepadanya suara yang sama yang dulu pernah dilihatnya dan
didengarnya yang memerintahkannya untuk menggali zamzam. Di
tengah-tengah tidurnya, suara itu membisikkan kepadanya bahawa nama
cucunya berasal dari al-Ham, yang berarti Muhammad atau Ahmad.
Orang-orang Quraisy bertanya kepada Abdul Muthalib: "Nama apa yang
engkau berikan kepada cucumu?" Abdul Muthalib menjawab sambil
mengingat bisikan suara yang didengarnya saat mimpi, "Muhammad."
Nama tersebut sebenamya tidak umum di kalangan orang-orang
Jahilliyah. Mereka bertanya, "Mengapa Abdul Muthalib tidak memakai
nama-nama datuk-datuknya dan nama-nama yang biasa dipakai di
kalangan mereka." Abdul Muthalib menjawab: "Aku ingin Allah SWT
memujinya di langit dan manusia memujinya di bumi."
Kami tidak mengetahui dorongan apa yang membuat Abdul Muthalib
untuk menyatakan kalimat tersebut. Apakah kalimat itu bersumber dari
realiti kebanggaan orang-orang Arab yang popular atau berasal dari
realiti kebanggaan tradisional? Atau, apakah berangkat dari realiti
kegembiraan yang dalam dengan kelahiran si cucu, ataukah kalimat itu
bersumber dari suasana rohani yang jernih dan bisikan alam ghaib? Tentu
kami tidak bisa menjawab. Yang dapat kami ketahui adalah bahawa
seseorang tidak akan layak menyandang predikat manusia yang dipuji di
bumi dan dipuji oleh Allah SWT di langit seperti predikat yang disandang
oleh Muhammad bin Abdillah.
Nabi Muhammad saw muncul ke alam wujud dalam keadaan yatim.
Beliau ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih janin di dalam perut
ibunya. Allah SWT berfirman:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungimu?" (QS. adh-Dhuha: 6)
Allah SWT melindunginya. Orang-orang sufi mengatakan bahawa sebab-
sebab kemanusiaan seperti adanya datuknya Abdul Muthalib dan
bagaimana ia mengasuhnya dan melindunginya tidak lain hanya bentuk
lahiriah yang tidak begitu penting, sedangkan bentuk batiniah yang
sebenarnya adalah kita berada di hadapan manusia yang dilindungi dan
diasuh oleh Tuhannya sejak masih kecil. Allah SWT mendidiknya saat
beliau masih kecil, dan mengujinya dengan keyatiman saat beliau masih
janin serta mengujinya dengan kelaparan sejak masih kecil, dan dewasa
dengan kematian si ibu, saat beliau masih kecil dengan keterasingan di
tengah-tengah keramaian, dan dengan terjaga di tengah-tengah tidur
serta dengan penderitaan demi penderitaan. Allah SWT telah
menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul beban risalah terakhir.
Selanjutnya, ibunya seringkali memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia
melihat bahawa banyak dari wanita-wanita yang menyusui tidak
berkenan untuk mengasuhnya. Adalah sudah menjadi tradisi yang
berkembang di Mekah di mana keluarga-keluarga yang mulia mengirim
anaknya ke kawasan dusun agar anak tersebut menyerap dan menghirup
udara segar serta memperoleh mainan yang memadai. Dan biasanya
wanita-wanita yang menyusui anak-anak lebih tertarik menyusui anak-
anak dari orang-orang kaya. Namun ketika pemimpin manusia seorang
yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa menyusui tidak berminat
kepadanya.
Marilah kita telusuri bagaimana Halimah binti Abi Duaib menceritakan
kisahnya bersama anak kecil yang disusuinya: "Saat itu terjadi musim
tandus dan kami tidak memiliki sesuatu sehingga aku dan suamiku
mengalami kemiskinan yang luar biasa. Lalu kami menetapkan keluar ke
Mekah dan menemani wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami semua
mencari anak-anak yang masih menyusu agar orang tua mereka dapat
membantu kami untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang yang aku tunggangi sangat lemah dan sangat kurus yang itu
semua disebabkan oleh kekurangan makanan. Bahkan kami khawatir
kalau-kalau ia berhenti di tengah perjalanan dan mati. Dan kami tidak
tidur semalaman kerana melihat kondisi anak kecil yang bersama kami.
Ia menangis kerana tidak menemukan makanan yang dapat dimakannya.
Ia menangis kerana kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari air
susuku mahupun air susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami
tidak dapat memuaskan dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku
merasakan keputusasaan. Aku bertanya-tanya bagaimana aku dapat
melakukan sesuatu dalam keadaan yang demikian.
Akhirnya, kami sampai di Mekah. Sementara itu, wanita-wanita yang
ingin mencari anak-anak yang dapat mereka susui telah mendahului
kami. Mereka mengambil anak-anak kecil yang mereka sukai, kecuali satu
anak, yaitu Muhammad di mana ayahnya telah meninggal dan ia berasal
dari keluarga yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya sangat
mulia di antara tokoh-tokoh Quraisy. Oleh kerana itu, wanita-wanita
enggan untuk mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak sefaham
dengan mereka kerana aku tidak peduli dengan keyatiman dan
kefakirannya. Kemudian aku malu untuk kembali dan tidak mengambil
bayi yang dapat aku susui kemudian. Di samping itu, aku malu jika
mendapat cercaan dari wanita-wanita itu. Lalu aku merasakan adanya
kasih sayang yang memenuhi hatiku terhadap anak kecil yang tampan itu
yang akan diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah tersebut mengatakan bahawa saat anak-anak kecil mendapatkan
wanita-wanita yang menyusuinya, maka Muhammad bin Abdillah sedang
tidur dalam keadaan lapar di ranjangnya yang kasar, tanpa disusui oleh
siapa pun. Suatu hikmah yang tinggi berkehendak agar bayi yang masih
menyusui itu menghadapi dunia dalam keadaan yatim dan dalam keadaan
kelaparan agar ia dapat merasakan penderitaan anak-anak yatim dan
orang-orang yang lapar sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah mengatakan bahawa ia meyakinkan suaminya bahawa ia
merasakan keinginan yang kuat untuk mengambil anak yatim ini,
sehingga suaminya menyetujuinya. Halimah tidak mengetahui rahsia
keinginannya yang samar agar ia kembali untuk mengambil anak yatim
yang masih menyusu ini. Ia tidak mengetahui bahawa Allah SWT telah
menanamkan rasa cinta kepada anak kecil itu dalam hatinya seperti Allah
SWT menanamkan cinta kepada Musa pada hati isteri Fir'aun. Jika Musa
menolak wanita-wanita lain untuk menyusuinya kecuali ibunya setelah
Allah SWT mencegahnya dari susuan wanita-wanita lain agar ibunya
merasa bahagia dan tidak bersedih, maka Muhammad bin Abdillah -
seorang anak kecil yang masih menyusu dan mulia - -justru ditolak oleh
wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia sendiri tidak pernah menolak
seseorang pun.
Halimah kembali kepadanya dan ia memberitahu bahawa ia akan
mengasuhnya. Nabi Muhammad saw adalah seorang yang mulia. Halimah
meletakkan tangannya di dadanya, sehingga anak kecil itu tertawa.
Halimah mencium di antara kedua matanya. la meletakkannya di
kamarnya. Halimah mengetahui bahawa kedua air susunya telah kering,
namun tiba-tiba air susunya memancar dengan keras sebagai bentuk
kasih sayang dan tanda kebesaran dari Allah SWT. Kini Halimah pun dapat
menyusuinya. Apakah itu merupakan hikmah yang tinggi di mana anak
kecil tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang sedikit? Ataukah anak
kecil itu sudah dapat mendidik dirinya untuk zuhud dan qanaah sebelum
ia mendidik orang-orang dewasa tentang pengorbanan dan kesatriaan?
Halimah kembali ke gurun Bani Sa'ad dan ia membawa Muhammad bin
Abdillah. Belum lama ia menyaksikan tanahnya yang tandus sehingga
tiba-tiba kebaikan dunia terbuka dan mekar di hadapannya, di mana
bumi dipenuhi dengan kehijau-hijauan setelah mengalami masa tandus.
Pohon-pohon berbuah dan buah kurma tampak berseri-seri setelah
sebelumnya layu, bahkan susu-susu binatang pun mulai tampak banyak.
Allah SWT memberikan berkah-Nya kepada tempat tersebut. Halimah
mengetahui bahawa kebaikan ini telah datang bersama kedatangan anak
kecil yang diberkahi, sehingga cintanya kepada anak itu semakin
bertambah. Bahkan suaminya pun menjadi tawanan cinta yang lain
kepada Muhammad saw.
Pada suatu hari ia berkata kepada isterinya: "Apakah engkau mengetahui
wahai Halimah bahawa engkau telah mengambil seorang anak yang
mulia?" Halimah berkata: "Anak kecil itu tidak menangis dan tidak
berteriak kecuali ketika ia telanjang." Ketika anak kecil itu gelisah di
tengah malam dan tidak tidur, maka Halimah membawanya keluar dari
khemah dan ia berhenti bersamanya di bawah sinar bintang. Saat itu
anak itu tampak bergembira ketika menyaksikan langit. Setelah kedua
matanya terpuaskan oleh pandangan ke arah langit, ia pun mulai tidur.
Ketika anak itu mencapai tahun yang kedua, maka ia telah disapih,
sehingga ibunya ingin mengambilnya, tetapi Halimah tidak kuat untuk
menahan perpisahan ini. Halimah menjatuhkan dirinya di hadapan kedua
kaki sang ibu dan ia mulai menciuminya dan ia meminta agar
membiarkannya bersama anaknya sehingga anak itu benar-benar kuat
dan dapat kembali menghirup udara segar gurun. Akhirnya, Rasulullah
saw tinggal di tempat Bani Sa'ad sampai lima tahun. Dan pada masa lima
tahun ini terjadi peristiwa penting yang terkenal dengan peristiwa
pembelahan dada. Kehendak Ilahi telah menetapkan kepada Ruhul Amin,
yaitu Jibril untuk menemui Muhammad bin Abdillah dan membelah
dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci hatinya dengan rahmat dan
mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan bahagian dunia
darinya.
Seperti biasanya Rasulullah saw keluar pada suatu hari bersama saudara
susuannya dengan menunggangi sekawanan domba menuju tempat
penggembalaan. Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam keadaan
takut dan menangis sambil berteriak bahawa Muhammad telah terbunuh.
Muhammad diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju yang
putih lalu kedua orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar hal itu, Halimah sangat kejut dan terpukul. Ia segera pergi
sambil berlari mencari Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang
mengikuti petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad. Akhirnya,
mereka menemukan Muhammad sedang duduk di atas tanah di mana
wajahnya tampak pucat dan kedua matanya menyala.
Halimah dan suaminya mencium dengan lembut dan mulai menampakkan
kasih sayangnya. Kemudian mereka bertanya, "apa yang terjadi?"
Muhammad menjawab: "Ketika aku memperhatikan domba-domba yang
sedang bermain aku dikejutkan dengan kedatangan dua orang yang
memakai pakaian yang putih. Mula-mula aku menyangka bahawa mereka
adalah burung yang besar, namun ternyata aku salah. Mereka adalah dua
orang yang tidak aku kenal yang memakai pakaian warna putih. Salah
seorang dari mereka berkata kepada temannya dengan menunjuk ke
arahku, "Apakah ini anaknya?" Yang lain menjawab, "benar." Aku
merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu mereka mengambilku dan
menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka mengambil sesuatu
darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya jauh-jauh.
Setelah itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas dan juga diriwayatkan oleh Muslim
dan Ahmad. Para mufasir berbeza pendapat tentang simbolisme yang
dalam ini. Sebahagian besar ulama menakwilkan peristiwa tersebut.
Pakar-pakar klasik, seperti Qurthubi berpendapat bahawa peristiwa itu
diisyaratkan oleh firman-Nya: "Bukankah Kami telah melapangkan
untukmu dadamu?. " (QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan tokoh-tokoh hadis, seperti Ghazali berpendapat bahawa
manusia istimewa seperti Muhammad saw tidak mungkin terlepas dari
bimbingan Ilahi dan tidak mungkin terkena waswas sekecil apa pun yang
biasa menimpa manusia biasa. Jika suatu kejahatan menjadi suatu
gelombang yang memenuhi cakerawala, maka di sana terdapat hati yang
segera memungutnya dan terpengaruh dengannya, namun hati para nabi
dengan adanya bimbingan Allah SWT tidak akan terpanggil dan tidak
terkena arus kejahatan tersebut.
Dengan demikian, usaha para nabi terfokus pada peningkatan kemajuan
atau ketinggian, bukan memerangi kerendahan. Diriwayatkan oleh
Abdillah bin Mas'ud bahawa Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada
seseorang di antara kalian kecuali ia diawasi oleh temannya dari
kalangan jin dan temannya dan dari kalangan malaikat." Para sahabat
berkata: "Apakah hal itu juga berlaku kepadamu wahai Rasulullah?" Beliau
menjawab: "Ya, tetapi Allah SWT membantuku, sehingga ia berserah diri
dan tidak memerintahkan kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah sikap orang-orang yang dahulu dan para ahli hadis berkaitan
dengan peristiwa pembelahan dada. Kami kira bahawa kejadian yang luar
biasa tersebut berhubungan dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra'
dan Mi'raj. Ia merupakan perjalanan di mana Rasulullah saw akan
menebus alam angkasa dan akan mencapai alam langit. Kemudian beliau
akan melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha yang di
sana terdapat Janatul Ma'wah.
Pandangan tersebut kembali kepada pendapat kami yang mengatakan
bahawa peristiwa pembelahan dada berulang lebih dari sekali saat Rasul
saw mencapai usia lima puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada
terjadi kedua kalinya pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahawa Rasulullah saw
menceritakan kepada mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau
bersabda: "Ketika aku berada di Hathim - atau beliau berkata di Hijr -
saat aku dalam keadaan antara tidur dan bangun, maka seorang datang
kepadaku lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan
dan perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan hatiku dan
membawa mangkok dari emas yang penuh dengan keimanan lalu ia
menyuci hatiku. Kemudian diulanginya."
Kami kira bahawa pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang
menunjukkan kesucian Rasul saw dan sebagai bentuk penyiapannya untuk
melalui Isra' dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan dari Ilahi bahawa
anak ini akan mencapai suatu kedudukan yang belum pernah dicapai oleh
manusia dan tidak akan dicapai manusia sesudahnya. Setelah peristiwa
pembelahan dada, berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana
sebahagian besar waktunya digunakan untuk merenung dan menyendiri.
Dari roman wajahnya tampak keseriusan yang biasanya menghiasi wajah
orang-orang dewasa.
Berlalulah hari demi hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa
menetapnya bersama Halimah di dusun Bani Sa'ad. Beliau sangat
terpengaruh dan sangat terkesan dengan keadaan di sana. Diriwayatkan
bahawa beliau pernah mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad dan beliau
membanggakannya. Beliau menyebutkan pengorbanan mereka dan sikap
mereka yang baik. Beliau berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa
bermaksud menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau
menyaksikan salah seorang mereka lapar, maka mereka akan membagi
makanan di antara mereka."
Kemudian Muhammad bin Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima
tahun. Beliau hidup beberapa hari bersama ibunya di mana si ibu
merasakan kesedihan yang dalam atas kepergian ayahnya. Sesuai janji
untuk mengingat ayahnya yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk
mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib lebih
dari lima ratus kilo meter di gurun yang kering yang jauh dari tanda-
tanda kehidupan. Anak itu menempuh perjalanan yang berat. Setelah
perjalanan yang berat ini, Muhammad bin Abdillah tinggal di tempat
paman-paman dari ibunya di Madinah selama satu bulan. Muhammad
melihat rumah yang di situ ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia
berziarah bersama ibunya ke kuburan yang sederhana yang ayahnya
dikuburkan di dalamnya. Mula-mula fikirannya terfokus pada keadaan
yatim sambil ia mulai memperhatikan linangan air mata ibunya yang
diam.
Selesailah masa satu bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya.
Kemudian ibunya menemaninya untuk kembali ke Mekah. Kedua anak
manusia itu sampai di pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak
mengetahui rahsia kepucatan wajah ibunya. Lalu malaikat maut turun di
suatu tempat yang bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah
bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT.
Sang ibu meninggal dan meninggalkan anak satu-satunya bersama
seorang pembantu. Pembantu itu menampakkan rasa kasihnya terhadap
anak kecil yang kehilangan ayahnya saat masih janin dan kehilangan
ibunya saat berusia enam tahun. Muhammad bin Abdillah kini menjadi
sendiri dan ia dalam keadaan menangis. Ia mencapai kematangan setelah
ia melewati kesedihan kehidupan dan kerasnya kehidupan sebagai anak
yatim.
Rasulullah saw pernah ditanya setelah masa diutusnya: "Bagaimana
pandanganmu?" Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah modalku. Akal
adalah dasar agamaku. Cinta adalah pondasiku. Zikrullah adalah
kesenanganku. Dan kesedihan adalah temanku."
Allah SWT telah menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan
sehingga beliau dapat memberikan kepada manusia buah dari
kegembiraan dan ketulusan.
Anak kecil itu kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak
terpaku. Lalu Abdul Muthalib, datuknya menampakkan cinta yang luar
biasa dan penghormatan padanya. Setelah dua tahun ketika Muhammad
bin Abdillah berusia delapan tahun, maka meninggallah salah satu
benteng yang terbaik yang menjaganya, yaitu datuknya Abdul Muthalib.
Kemudian anak kecil itu kini merenungi datuknya laksana orang dewasa.
Ia tampak tegar seperti layaknya orang dewasa.
Kita tidak mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah Allah
SWT mencegah Nabi yang terakhir untuk mendapatkan kasih sayang
seorang ayah, kasih sayang seorang ibu, dan bimbingan seorang datuk?
Apakah Allah SWT ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih sayang
dan cinta yang semata-mata bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah SWT
ingin mendidiknya dengan kesedihan dan memberinya perasaan-perasaan
yang penuh dengan penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat hati
Rasul-Nya hanya tertuju kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada
Musa:
"Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu Allah SWT memberi khabar gembira kepada Musa di dalam Taurat
sebagaimana Isa memberi khabar gembira di dalam Injil dengan
kedatangan seorang Nabi setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi
Musa meminta kepada Tuhannya agar memberinya dan memberi umatnya
puncak keutamaan, lalu Allah SWT menjawab bahawa Dia telah
menetapkan keutamaan ini kepada Nabi yang terakhir Ahmad dan
umatnya.
Allah SWT telah memilih Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia
tidak mencegahnya untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan
mendidiknya di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia berkehendak
untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih
sayang seorang manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi
tersebut hanya mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia
melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung,
lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang
yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap
anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan
terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu
mengherdiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah
kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-
11)
Makna ayat tersebut secara harfiah adalah bahawa beliau dalam keadaan
yatim lalu Allah SWT melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu
Allah SWT memberinya petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah
SWT memampukannya. Allah SWT melindunginya dengan mengasuhnya,
membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah darjat keutamaan yang
tidak pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah kematian datuknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya.
Allah SWT telah meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga
pamannya mengutamakan Muhammad saw daripada anak-anaknya dan
memuliakannya serta menghormatinya, bahkan Abu Thalib
mendudukkannya di ranjangnya yang biasa dibentangkannya di hadapan
Ka'bah di mana tidak ada seorang pun yang duduk selainnya.
Muhammad bin Abdillah hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang
yang memiliki kesedaran yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai
dan kaum yang mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta para
pedagang minuman keras dan para syair dan orang-orang yang berperang
dan tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad bin Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya
semakin dewasa, maka ia bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara
kecuali jika diajak seseorang berbicara; beliau tidak terlibat dalam
permainan hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan yang
dalam; beliau sering menyendiri dan membuka matanya di hamparan
pasir-pasir. Mulutnya terdiam dan akalnya berfikir. Beliau merenungkan
di masa kecilnya bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan
terpukau dengannya; bagaimana orang-orang berakal mau bersujud
kepada batu-batu yang tidak memberikan mudarat dan manfaat dan
tidak berbicara serta tidak dapat melakukan apa-apa. Beliau mewarisi
dari datuknya Ibrahim kebencian yang fitri terhadap dunia berhala dan
patung.
Di dalam dirinya terdapat penghinaan yang besar terhadap sembahan-
sembahan dari batu ini, suatu penghinaan yang menjadikannya tidak mau
mendekat selama-lamanya terhadap patung tersebut. Namun hatinya
yang besar dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat dari kesedihan
datuknya Ibrahim. Beliau sedih kerana akal manusia menyembah batu
dan emas, kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau mendengar
apa yang dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan dan
keadaan masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak
pertentangan dan perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan
oleh masalah-masalah yang sepele, sehingga kehairanan beliau semakin
bertambah dan sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam.
Tidakkah manusia mengetahui bahawa mereka akan mati seperti
ayahnya, ibunya, dan datuknya? Mengapa mereka menimbulkan
pertentangan ini, hingga mereka mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika usianya semakin bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya
dalam hidup, dan sepak terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru
Mekah. Beliau tidak sama dengan seseorang pun dari kalangan pemuda
saat itu. Meskipun kami kira bahawa kesedihannya disebabkan oleh hal-
hal yang umum, tetapi beliau tidak mengungkapkan kegelisahan hatinya
pada seseorang pun. Beliau belum bertujuan untuk memperbaiki
masyarakat atau kemanusiaan. Benar bahawa pertanyaan-pertanyaan
kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera menemukan jawapan,
tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawapan atau jalan
keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia
memberikan petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam
menafsirkan kejahatan dan usaha melawannya kerana ketiadaan senjata
dan kecilnya usia. Semua itu justru menambah sikap diam anak kecil itu
dan menjauhkannya dari dunia yang akan mencemari akal, sehingga
akalnya selamat dari segala noda dan tetap di bawah naungan
kejernihannya.
Anak kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya
yang berupa kecenderungan untuk menyembah berhala dan cinta
kekuasaan dan kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih mendekat
kepada hakikatnya yang suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan
jiwanya yang bersih dan rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada
manusia, bahkan kepada binatang dan burung. Ketika ia duduk akan
makan lalu ada burung merpati berkeliling di seputar makanannya maka
ia meninggalkan makanannya untuk burung itu. Pada saat orang-orang
memukul anjing yang mendekat kepada makanan mereka, maka ia justru
mencabut suapan yang ada di mulutnya dan memberikannya pada anjing,
kucing, anak-anak kecil, dan orang-orang fakir. Bahkan seringkali di
waktu malam ia tidur dalam keadaan lapar kerana ia memberikan
makanannya ke orang lain.
Muhammad saw adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat
makan, maka beliau bekerja sebagai penggembala kambing, seperti Nabi
Daud, Nabi Musa, dan nabi-nabi yang lain yang diutus oleh Allah SWT.
Kemudian beliau melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu
Thalib menuju Syam saat beliau berusia tiga belas tahun. Beliau
menyaksikan keadaan umat-umat yang lain, maka kehairanannya semakin
bertambah terhadap masa Jahilliyah ini. Ketika beliau menyaksikan
orang-orang tersesat, maka kesedihannya semakin bertambah dan
hatinya semakin tersentuh dan fikirannya semakin dalam.
Pada saat perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa
terhadap anak kecil itu. Kemungkinan besar itu justru menambah
kebingungannya. Seorang pendeta yang bernama Buhaira berdiri di
jendela rumah yang menjadi tempat peribadatannya di Suria. Tiba-tiba
ia memperhatikan suatu awan putih - tidak seperti biasanya - yang
menghiasi langit yang biru. Saat itu udara sangat terang, sehingga
munculnya awan tersebut sangat menghairankan. Kemudian pandangan
Buhaira yang tertuju ke langit, kini tertuju ke bumi di mana ia mendapati
awan itu menyerupai burung yang putih yang menaungi kafilah kecil yang
menuju ke arah utara. Buhaira memperhatikan bahawa awan tersebut
mengikuti kafilah.
Jantung Buhaira berdebar dengan keras kerana ia mengetahui melalui
buku-buku peninggalan kaum Masehi yang otentik bahawa seorang nabi
akan muncul ke dunia setelah Isa. Sifat dan khabar nabi tersebut
diceritakan dalam buku-buku kuno. Buhaira segera meninggalkan
tempatnya, lalu ia segera memerintahkan untuk menyiapkan makanan
yang besar. Kemudian ia mengutus seseorang untuk menemui kafilah
tersebut dan mengundang mereka untuk jamuan makan. Salah seorang
mereka berkata dengan nada bercanda kepada Buhaira: "Demi Lata dan
'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai Buhaira. Engkau tidak pernah
melakukan demikian kepada kami, padahal kami telah melewati dan
singgah di tempat ini lebih dari sekali. Ada peristiwa apa gerangan wahai
Buhaira?"
Buhaira
menjawab: "Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang tersebut tidak
dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya dan tidak
menyingkapkan rahsia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini. Buhaira memberi
makan mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka adanya seseorang yang
memiliki tanda- tanda yang dibacanya dalam kitab-kitabnya yang kuno tentang
seorang rasul yang ditunggu. Namun ia tidak menemukannya, hingga ia bertanya
kepada mereka: "Wahai kaum Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir
bersama jamuanku ini?" Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang tidak ikut
bersama kami. Kami meninggalkannya kerana ia masih kecil." Buhaira berkata:
"Sungguh aku telah mengundang kamu semua. Panggillah ia supaya hadir bersama
kami dan memakan makanan ini." Salah seorang lelaki dari kaum Quraisy berkata:
"Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami untuk meninggalkan Muhammad bin
Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang kami diundang di dalamnya.
Pamannya
meminta maaf kerana Muhammad masih kecil, kemudian sebahagian mereka berdiri dan
menghadirkannya. Belum lama Buhaira memandangi kejernihan dua mata Muhammad,
sehingga ia mengetahui bahawa ia telah mendekati tujuannya. Buhairah terpaku
ketika memandangi Muhammad bin Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka
berpisah.
Muhammad
bin Abdillah duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan berkata: "Wahai anak
kecil, demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau memberitahu aku
terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin mengetahui sikap anak
ini terhadap berhala kaumnya. Anak kecil itu menjawab: "Jangan engkau bertanya
kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku
benci daripada keduanya." Buhaira berkata: "Dengan izin Allah aku ingin bertanya
kepadamu." Anak kecil itu menjawab: "Tanyalah apa saja yang terlintas di
benakmu."
Buhaira
bertanya kepada anak kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya di
tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan pendapat- pendapatnya. Dialog tersebut
terjadi jauh dari pantauan kaum kerana mereka tidak akan diam ketika mendengar
bahawa Muhammad membenci berhala-berhala mereka. Kemudian Muhammad menjawab
pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin, hingga membuat Buhaira mantap bahawa
ia sekarang duduk bersama seorang Nabi yang khabar berita gembiranya disampaikan
oleh Nabi Isa sebagaimana disampaikan oleh nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum
Nabi Musa. Setelah itu, ia bangkit meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu
Thalib ia bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib
menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin ayahnya masih
hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku. Ayahnya dan ibunya telah
meninggal." Buhaira berkata: "Engkau benar, kembalilah kamu ke negerimu dan
hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib bertanya tentang rahsia dari apa yang
dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu mulai mengetahui bahawa ia telah
berbicara lebih dari yang semestinya. Lalu ia berkata: "Ia akan memiliki
kedudukan tertentu." Buhaira tidak menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak
menentukan kedudukan yang dimaksud.
Lalu
berlalulah peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau tanpa
menggugah kesedaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak membawa pengaruh
berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah menganggap bahawa
penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan memberitahunya akan
kedudukan yang akan disandangnya adalah semata-mata basa-basi yang biasa
diucapkan di atas meja makan ketika para tamu memuji kedermawanan tuan rumah.
Dan sebagai balasannya, orang yang mengundang akan memuji akhlak para pemuda
mereka. Alhasil, peristiwa tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi
Muhammad mahupun bagi sahabat-sahabat yang ikut dalam kafilah, sehingga mereka
tidak mengetahui rahsia perkataan pendeta dan mereka tidak menyebarkan
pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa itu tersembunyi meskipun ia
sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa
gerangan yang terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga pendeta
perlu mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan yang akan
dikembangnya seperti yang diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa hubungan semua
ini dengan kesedihan- kesedihannya yang dalam serta kebingungannya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit berputar di benaknya.
Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut kembali ke Mekah. Muhammad kembali
menuju keterasingannya. Ia memperhatikan keadaan alam di sekitarnya. Kemudian ia
melihat kembali penderitaannya; ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya; ia
mengabdi kepada manusia dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari
demi hari berlalu. Muhammad saw tampil dengan pakaian ketulusan kasih sayang,
dan amanah serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya, sehingga
kejujurannya terkenal di tengah-tengah kaumnya. Bahkan kejujuran dan amanatnya
tidak bakal diragukan oleh seseorang pun dari penduduk Mekah. Dan ketika beliau
datang dengan membawa risalahnya dan beliau ditentang majoriti masyarakatnya,
namun tak seorang pun yang berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh
bahawa ia terkena sihir atau kesedarannya telah hilang.
Pada
tahun ketiga belas dari masa kenabian, ketika semua kabilah sepakat untuk
membunuhnya dan mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan mereka mengepung
rumahnya, maka di saat situasi yang sulit ini beliau menetapkan untuk berhijrah.
Tetapi sebelumnya beliau mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib, anak pamannya
untuk tetap tinggal di rumahnya agar ia dapat mengembalikan amanat yang
dititipkan oleh semua musuhnya dan para sahabatnya. Ini beliau maksudkan agar
Ali dapat menyerahkan amanat tersebut di waktu pagi kepada para pemiliknya. Anda
dapat melihat betapa para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka ketika
dijaga oleh Muhammad saw.
Hari
demi hari berlalu dan tahun demi tahun pun lewat. Sementara itu, kesucian dan
kejujuran Muhammad saw semakin meningkat. Dan di tengah lautan keheningan yang
mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah menyebarkan layar perahunya yang putih,
maka ia harus menemui hakikat azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan
rasul. Muhammad bin Abdillah mengetahui bahawa alam yang besar ini mempunyai
Tuhan Pengatur dan Pencipta; Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan
selain-Nya.
Muhammad
dijauhkan dari suasana kenikmatan dan foya-foya yang biasa dilakukan oleh para
pemuda seusianya. Dan ketika pemuda Mekah berbangga-bangga dengan banyaknya
minuman keras yang mereka minum dan banyaknya bait-bait syair yang mereka
katakan tentang wanita, maka Muhammad bin Abdillah telah menemukan jati dirinya
di suatu gua yang tenang di gunung yang besar. Ia memilih untuk menghabiskan
waktunya di dalam keheningan gua tersebut. Ia merenung dengan hatinya tentang
keadaan alam; ia memikirkan keagungan rahsia-rahsianya dan rahmat Penciptanya
serta kebesaran-Nya.
Pada
tahun yang kedua puluh lima, beliau mengenal Ummul Mu'minin, isterinya yang
pertama, yaitu Khadijah binti Khuwailid yang saat itu berusia empat puluh tahun.
Khadijah adalah wanita yang mulia dan mempunyai cukup harta. Ia berdagang dan
suaminya telah meninggal. Banyak orang yang mendekatinya dengan alasan untuk
mendapatkan kekayaannya. Khadijah mencari seseorang laki-laki yang dapat membawa
harta dagangannya menuju Syam, lalu Khadijah mendengar berita yang cukup banyak
berkenaan dengan kejujuran dan amanat serta kesucian Muhammad bin Abdilah.
Akhirnya, Khadijah mengutus Muhammad saw untuk membawa barang dagangannya.
Muhammad saw pergi dalam perjalanannya yang kedua ke Syam saat beliau berusia
dua puluh lima tahun. Allah SWT memberkati perjalanannya di mana beliau kembali
dengan membawa keuntungan yang berlipat ganda yang diserahkannya kepada
Khadijah. Muhammad saw tidak peduli dengan harta Khadijah dan tidak peduli
kepada kecantikannya; Muhammad saw hanya memandang kemuliaan yang dipegangnya.
Kemudian Khadijah merasakan getaran cinta terhadap Muhammad saw. Dan Akhirnya,
ia mengutarakan keinginan untuk menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun
setuju.
Paman
Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan menyampaikan khutbah pada saat perayaan
perkawinannya: Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan seorang pun dari
kaum Quraisy kerana ia adalah seorang yang mulia, baik dari sisi akal mahupun
rohani. Meskipun ia seorang yang fakir namun harta adalah naungan yang akan
hilang dan benda yang bersifat sementara.
Setelah
menikah, Muhammad saw justru mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk
merenung dan menyendiri serta beribadah. Kemudian kehidupan yang dijalaninya
justru meningkatkan kemuliaannya, sehingga keutamaannya tersebar di sana sini.
Beliau tidak pernah terlibat dalam pergelutan yang keras untuk memperebutkan
materi-materi dunia. Beliau selalu menggunakan akal sehatnya daripada terlibat
dalam kesesatan mereka dan kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada
saat itu. Kemudian usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah
merasakan kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih untuk
menjauh dari mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah SWT
membimbingnya untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat keluar dari
Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai mendaki dan mendaki.
Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu semakin luas. Udara tampak lembut
dan tersingkaplah hijab, dan pandangan semakin terbentang. Kemudian beliau
memasuki gua. Keheningan menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap sadar dan
tidak ada sesuatu yang dapat menghalang-halangi pandangan internal yang dalam.
Dalam suasana kesunyian terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang cemerlang
yang kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di atas
angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak ada sesuatu
pun yang membatasinya atau mengekang kebebasannya.
Kita
tidak mengetahui fikiran-fikiran apa yang terlintas pada manusia termulia dan
terbesar di atas bumi itu saat beliau duduk di gua Hira beberapa bulan. Apa yang
beliau fikirkan dan apa gerangan yang beliau risaukan? Mimpi apa yang ada di
benaknya dan perasaan-perasaan apa yang lahir dalam hatinya? Bagaimana keadaan
batu-batu yang ada di sisinya? Apakah atom-atom batu yang berputar di
sekelilingnya menyahuti tasbihnya yang diam, seperti atom-atom batu yang
bersahut- sahutan bersama Daud saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami
tidak mengetahui secara pasti bentuk kelahiran yang terjadi dalam dirinya. Yang
kita ketahui adalah bahawa beliau tidak berfikir tentang kenabian dan beliau
tidak berfikir untuk memberikan petunjuk kepada manusia; beliau tidak melakukan
praktik-praktik sufisme kerana beliau sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus
di tengah-tengah manusia. Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu beliau
meninggalkan uzlahnya dan turun ke medan serta membawa senjata. Beliau
mempertahankan kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan Tuhannya. Mula-mula
lahirlah tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf
bukanlah puncak atau hasil
sebagaimana diyakini oleh manusia sekarang, tetapi ia adalah permulaan jalan
yang panjang di mana pada akhirnya yang bersangkutan menggunakan senjata sebagai
bentuk usaha untuk membela manusia dan kehormatannya.
Pada
suatu hari beliau duduk di gua Hira dan tiba-tiba beliau dikejutkan dengan
kedatangan Jibril yang berdiri di depan pintu gua. Malaikat tersebut memeluknya
erat-erat lalu memerintahkannya untuk membaca sambil berkata: "Bacalah!"
Muhammad bin Abdillah menjawab: "Aku tidak mampu membaca." Beliau ingin
mengatakan bahawa beliau tidak mengenal bacaan dan tulisan. Kalau begitu, apa
yang harus beliau baca? Malaikat kembali memeluknya dengan kuat sehingga
Rasulullah saw menganggap bahawa ia meninggal. Kemudian malaikat melepasnya dan
memerintahkannya untuk membaca. Beliau kembali menjawab: "Aku tidak bisa
membaca." Malaikat yang mulia kembali memeluknya dan kembali memerintahkan untuk
membaca. Dan lagi-lagi Rasulullah saw menjawab dengan gementar: "Apa yang aku
baca?" Kemudian Jibril membaca permulaan ayat-ayat yang turun kepada beliau:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu lah Yang
Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah
peristiwa itu, Jibril menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul secara
tiba-tiba. Rasulullah saw merasakan dalam dirinya kejadian yang luar biasa yang
pernah dirasakan oleh Nabi Musa saat beliau mendengar panggilan-panggilan suci
di lembah Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari ketakutan, maka Muhammad bin
Abdillah pun segera menuju ke rumahnya dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke
gunung dan kembali ke rumahnya dan kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia
bergetar dengan keras dan beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah
beliau kali ini berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah beliau telah
mengigau sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat wajah-wajah yang
belum pernah dilihatnya? Rasulullah saw mengkhuatirkan dirinya kerana beliau
sangat benci kepada perdukunan. Beliau memasuki rumahnya dengan keadaan
gementar. Beliau berkata kepada isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah aku!"
Kemudian isterinya segera menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap
keringat yang berada di keningnya. Isterinya dikejutkan dengan kepucatan wajah
beliau yang mulia dan kegementaran tubuhnya.
Khadijah
bertanya kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw
menceritakan secara terperinci apa yang dialaminya. Kemudian ia berkata:
"Sungguh aku khawatir terhadap diriku." Khadijah mengetahui bahawa ia sekarang
berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita gembira yang ia tidak
mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang seharusnya tidak dihadapi
Muhammad saw dengan kekhuatiran dan kegelisahan.
Khadijah
berkata dengan maksud untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi Allah,
Allah SWT tidak akan menghinakanmu selama- lamanya. Sungguh engkau adalah
seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang berbicara dengan
jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun
kalimat-kalimat tersebut penuh dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi
kegelisahan Rasul saw juga belum hilang. Kemudian Khadijah pergi bersama beliau
ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman Khadijah. Waraqah adalah
seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia cukup
mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di mana matanya telah buta kerana masa
tua.
Khadijah
berkata kepadanya: "Wahai putera pamanku, dengarlah dari anak saudaramu."
Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?" Rasulullah saw
menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna. Waraqah berkata sambil
mengangkat kepalanya yang tampak kehairanan: "Itu adalah Namus (Jibril) yang
Allah SWT turunkan kepada Musa." Sebagai seorang yang mengerti, Waraqah bin
Nofel mengetahui bahawa ia berada di hadapan seorang Nabi yang berita gembiranya
disampaikan oleh Taurat dan Injil.
Setelah
keheningan sesaat, Waraqah berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika kaummu
mengeluarkanmu dan mengusirmu." Rasulullah saw bertanya: "Mengapa aku harus
diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar, tidak ada seorang pun yang akan
datang seperti dirimu kecuali engkau akan mengalami penderitaan dan pengusiran.
Seandainya aku hadir di saat itu nescaya aku akan menolongmu."
Demikianlah, akhirnya Islam pun dikembangkan. Kehendak
Allah SWT terlaksana dan Allah SWT telah memilih Nabi yang terakhir di muka bumi
dan orang Muslim yang pertama. Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat
dari Islam? Apabila Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh
Allah SWT di muka bumi dan kita mengetahui bahawa para nabi semuanya sebagai
Muslim, maka bagaimana beliau dapat dikatakan mendahului mereka dalam keislaman
dan menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam
yang dibawa oleh Muhammad saw tidak berbeza dalam esensinya dengan Islam yang
dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang lain, tetapi yang
berbeza adalah bentuknya, sedangkan esensinya tetap seperti semula, yakni
berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw berbeza dalam
bentuknya dengan Islam yang dibawa nabi-nabi sebelumnya kerana sebab yang
penting, yakni bahawa Islam ini merupakan ajaran yang universal dan berisi aspek
kemanusiaan yang abadi. Islam tidak terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia
berlaku atas semua golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak
terbatas untuk kabilah tertentu atau bangsa tertentu atau bumi tertentu atau
lingkungan tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau
dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia di mana
saja mereka berada tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas ajaran Islam tidak dikenal pada
risalah-risalah Ilahi sebelumnya di mana setiap risalah itu diperuntukkan bagi
bangsa tertentu dan zaman tertentu. Oleh kerana itu, mukjizat-mukjizat yang
mengagumkan yang bersifat sementara seringkali mendukung risalah- risalah yang
dahulu. Ketika Islam datang sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan akal
manusia secara bebas, maka di sana tidak ada alasan untuk membawa mukjizat yang
mengagumkan. Hanya ada satu kata yang dapat dijadikan pembuka untuk berdakwah
dan membuka akal manusia, yaitu kata "iqra"' (bacalah). Dan hendaklah bacaan ini
berdasarkan nama Allah SWT. Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
menciptakan manusia dari segumpal darah. Cuba Anda
renungkan permulaan pertumbuhan dan
puncak pencapaian. Di sini tersembunyi mukjizat yang hakiki jika Anda berusaha
mencari mukjizat yang hakiki.
Bacalah,
dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan dan rezeki serta
rahmat dan kelembutan. Dia Maha Mulia yang mengajarkan manusia apa saja yang
tidak diketahuinya. Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ajakan untuk membaca.
Ia adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Takut
kepada Allah SWT tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil kebodohan
dengan bentuk apa pun akan melahirkan rasa takut. Oleh kerana itu, dalam
pandangan Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia bukan kemewahan dan bukan hanya
perhiasan. Kaum Muslim telah mengalami masa kemuliaan dan kejayaan dan mereka
berhasil menguasai bumi ketika mereka memahami Islam secara benar, tetapi ketika
pemahaman ini jauh dari mereka, maka mereka kembali dalam keadaan yang paling
buruk, bahkan lebih buruk daripada masa jahiliah.
Jadi,
ilmu dalam Islam merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan alam
wujud. Kisah Nabi Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan oleh Al-Quran adalah
bukan semata-mata kisah kesalahan memakan pohon terlarang, tetapi ia juga kisah
yang memiliki dimensi- dimensi yang dalam dan aspek-aspek yang beraneka ragam.
Ketika Anda menyelami kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan simbol-
simbol dari makna-makna yang lebih penting.
Dialog
internal yang dialami oleh para malaikat tentang rahsia pemilihan Nabi Adam
untuk memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di dalamnya serta pengajaran yang
diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama semuanya dan bagaimana beliau mengemukakan
nama-nama tersebut kepada para malaikat, serta ketidaktahuan mereka tentang
nama-nama itu, kemudian usaha Nabi Adam untuk memberitahu mereka tentang apa
yang diketahuinya serta pengetahuan para malaikat tentang rahsia pemilihan Nabi
Adam dan para keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini menjadikan tujuan
dari penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah secara umum.
Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman Allah SWT:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menyembah-(Ku)." (QS. adz-Dzariat: 56)
Lalu
bagaimana kita memahaminya saat ini dan bagaimana generasi yang pertama dari
kaum Muslim dan dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para pengikutnya dan para
tenteranya memahaminya? Saat ini kita memahaminya dengan pemahaman yang
sederhana. Kita mengetahui bahawa kalimat "untuk menyembah-Ku " bererti ritual
dalam beribadah dan aspek-aspek lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat
syahadat, solat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. Sehingga orang-orang yang
solat diperbolehkan untuk menyembah Allah SWT di negeri mereka atau di
rumah-rumah mereka, meskipun mereka hidup di bawah pemikiran orang-orang Barat
dan membeli produk-produk yang dibuat mereka serta memanfaatkan ilmu dan
kecanggihan teknologi orang-orang Barat. Namun mereka sendiri tidak menghasilkan
apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan kontribusi kepada kehidupan; mereka tak
ubah-nya seperti bulu yang dimainkan oleh ombak. Sedangkan pemahaman yang dahulu
berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai berikut:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menyembah-(Ku). " (QS. adz-Dzariat: 56)
Ibnu
Abbas membacanya: "Illa liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui). Perhatikanlah
bagaimana pentingnya perbezaan antara praktek-praktek ibadah dengan
bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah yang menyebabkan rasa
takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang pertama meyakini bahawa Allah SWT
menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT atau agar ia mengenal Allah SWT.
Sehingga ambisi orang Muslim yang pertama sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk
membebaskan dunia semuanya: satu tangan berpegangan dengan Al- Quran dan tangan
yang lain memegang pedang untuk menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret
manusia kepada kesesatan.
Kemudian
jatuhlah dari Islam hakikat ilmu, sehingga umat Islam tidak dapat memimpin
kehidupan dan mereka justru mendapatkan kehinaan. Allah SWT berfirman:
"Allah menyatakan bahawasanya tidak ada Tuhan melainkan
Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah
Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah
kesaksian kepada Allah swt dan kesaksian kepada malaikat, maka disebutlah secara
langsung kesaksian kepada orang-orang yang berilmu. Maka, adakah penghormatan
terhadap ilmu yang lebih besar daripada penghormatan ini? Ilmu dalam Islam
berbeza dengan ilmu dalam peradaban Barat. Memang benar bahawa Islam yang
bertanggungjawab terhadap tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode eksperimental di
mana berdasarkan metode ini tegaklah peradaban Barat yang kemudian melahirkan
berbagai produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan metode eksperimental adalah
metode al-Istiqra, yaitu suatu metode yang mengikuti bahagian-bahagian terkecil
(parsial) melalui jalan eksperimen yang dapat tunduk terhadap eksperimen dan
melalui jalan memperhatikan hal-hal yang tidak dapat tunduk terhadap suatu
eksperimen, atau melalui jalan matematis murni yang membutuhkan kepada matematis
murni di mana hal itu bertujuan untuk menyingkap hukum-hukum yang menguasai
benda. Sistem ini bidangnya adalah alam dan alatnya adalah panca indera dan
akal. Sistem ini dimanfaatkan oleh seorang Eropa yang bernama Roger Bikun. Ia
mengakui bahawa ia sangat berhutang kepada kaum Muslim dan peradaban
Islam.
Seorang
guru yang bernama Bruicll dalam bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan tentang
dasar-dasar peradaban Barat di mana ia berkata: "Roger Bikun mempelajari bahasa
Arab dan ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford kepada guru-gurunya yang berasal dari
Arab di Andalus. Dan Roger Bikun dan Fenessis Bikun tidak dapat menisbatkan
keutamaan yang mereka peroleh dalam menciptakan sistem eksperimental kepada diri
mereka sendiri. Roger Bikun hanya seorang duta dari duta-duta ilmu. Oleh kerana
itu, ia tidak malu ketika menyatakan bahawa mempelajari bahasa Arab dan
ilmu-ilmu Arab adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah pernyataan pakar-pakar Barat yang jujur. Yang
demikian ini bisa dijadikan sanggahan terhadap orang-orang Barat yang tidak
jujur agar mereka mengetahui bahawa mereka sebenarnya mengambil senjata yang
sebenarnya berasal dari Islam. Dan jika dikatakan bahawa rahsia kebangkitan
Barat saat ini dan keunggulannya atas Timur kembali kepada pengambilannya
terhadap sebab-sebab metode eksperimental, yaitu metode Islam, maka rahsia
kehancuran Barat dan kebingungannya serta kegelisahannya adalah kerana mereka
tidak menghubungkan metode tersebut dengan kebesaran Allah SWT sebagaimana
semestinya. Metode eksperimen-tal - sebagaimana diambil orang-orang Barat -
dimulai dari alam dan berakhir kepadanya sebagai sesuatu tujuan. Jadi, ruang
lingkup pembahasan mereka adalah berkisar kepada materi, dan alat-alat
pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan serta istiqra.
Tiada
setelah alam kecuali kematian dan kematian adalah rahsia yang misteri dan
melawannya adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui apa yang terjadi
setelah kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun tentang roh. Tidak ada
hubungan antara ilmu dan akhlak; tidak ada jawapan dari ilmu tentang tujuan
kehidupan ini. Kita hanya mempelajari aspek-aspek lahiriah dan mencapai
hukum-hukumnya saja. Demikianlah pandangan Barat tentang ilmu di mana ia hanya
sekadar alat dan sarana untuk mengatur alam dan berusaha menguasainya. Sedangkan
metode ilmiah dalam Islam menyatakan bahawa gerakan atom dengan gerakan sistem
tata suria di bawah kendali Zat Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha Pencipta. Ilmu
dalam Islam justru membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan bahawasanya kepada Tuhanmu lah kesudahan (segala
sesuatu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu
justru menghantarkan manusia untuk mencapai rasa takut kepada Allah SWT
sebagaimana membimbingnya beribadah kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam
datang dan mengajak manusia untuk membaca, mengetahui, dan takut kepada Allah
SWT serta hanya beribadah kepadanya. Jika ilmu merupakan sayap pertama di dalam
Islam, maka sayap yang kedua adalah kebebasan. Rasulullah saw memberitahu dan
menyatakan bahawa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan tidak ada sembahan selain
Allah SWT.
Seruan
ini mengisyaratkan keruntuhan tuhan-tuhan yang mengusai bumi semuanya, baik
tuhan yang berupa kepentingan-kepentingan peribadi, kekayaan, raja, penguasa,
pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia, warisan para datuk dan nenek,
berhala-berhala yang terbuat dari batu dan kayu, mahupun berbagai macam tuhan
lain yang bohong. Adalah salah jika seseorang membayangkan bahawa kalimat "tiada
Tuhan selain Allah" hanya sekadar hiasan mulut seorang Muslim di mana segala
sesuatu yang ada di sekitarnya penuh dengan kebohongan dan tidak membenarkan apa
yang dikatakannya. Kalimat tersebut dalam Islam merupakan pergelutan besar
bersama kegelapan yang ada pada diri manusia, suatu pergelutan yang berakhir
pada penyerahan diri; pergelutan yang akan berpindah pada kehidupan yang lebih
berat, sehingga kehidupan akan berserah diri. Dan mustahil pergelutan itu akan
terjadi kecuali jika terpenuhi suatu kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan
dan menolak dan kebebasan yang berakhir kepada pencapaian batas-batasnya dan
kemampuannya serta kebebasan yang meninggi untuk mencapai keimanan yang dalam
dan kukuh. Itu adalah tanggung jawab yang berarti bahawa ia harus memikul
senjata untuk membebaskan orang lain sebagaimana ia membebaskan dirinya sendiri.
Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ilmu yang berdiri di atas kebebasan dan
tanggung jawab yang tumbuh dari kebebasan, dan buah terakhirnya adalah tauhid
dalam kedalamannya yang jauh.
Jika
tauhid difahami secara benar, maka manusia akan terbebas dari penyembahan selain
Allah SWT: manusia akan bebas terhadap rasa takut dari kematian, kekhuatiran
atas rezeki, manusia akan terbebas dari sikap bakhil dan ketakutan terhadap
hari-hari yang akan datang.
Muhammad
bin Abdillah datang untuk menyerukan bahawa hanya Allah SWT yang patut disembah
dan bahawa semua manusia adalah hamba- hamba-Nya. Dengan membebaskan manusia
dari menyembah sesama mereka, maka kebebasan yang hakiki telah dimulai.
Rasulullah saw memberitahu bahawa kematian adalah perpindahan dari satu rumah ke
rumah yang lain. Ia bukan akhiran yang misteri dari kehidupan yang tidak dapat
difahami, tetapi ia hanya sekadar perpindahan. Takut kepada kematian tidak akan
menyelamatkan dari kematian itu sendiri, dan cinta kepada kehidupan tidak akan
memanjangkan ajal. Pada setiap ajal ada ketentuannya. Maka keberanian merupakan
unsur dari unsur-unsur pembentukan keperibadian Islam dan bahagian dari
bahagian-bahagian sel yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah saw juga menyatakan bahawa rezeki di dunia sudah
dijamin dan ditentukan oleh Allah SWT:
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah- lah yang memberi rezekinya. " (QS. Hud: 6)
Jibril
mewahyukan kepada Rasul saw bahawa suatu jiwa tidak akan memenuhi ajalnya
sehingga rezekinya disempurnakan. Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan
bagi manusia untuk khawatir terhadap rasa lapar dan gelisah terhadap hari esok.
Semua ini terjadi dalam ruang lingkup mengambil atau melalui jalan-jalan menuju
sebab. Yakni berusaha untuk mencapai rezeki yang merupakan kewajipan bagi orang
Muslim dan percaya terhadap kedermawan Allah SWT yang juga merupakan suatu
kewajipan bagi orang Muslim untuk mempercayainya. Allah SWT berfirman:
"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat
(pula) apa yang dijanjikan kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah
SWT telah menjamin rezeki di dunia dan memerintahkan manusia untuk berusaha
mencapai rezeki di akhirat. Rezeki di dunia adalah sesuatu yang sudah dijamin,
sehingga manusia tidak perlu melakukan usaha yang terlalu sengit untuk
mencapainya. Cukup baginya untuk berusaha secara benar dan seimbang. Sedangkan
berkenaan dengan rezeki akhirat, Allah SWT memerintahkan manusia untuk berusaha
mencapainya kerana ia adalah rezeki yang Allah SWT tidak menjaminnya kecuali
jika manusia berhasil melampaui dua jihad: jihad yang besar dan jihad yang
kecil. Jihad besar adalah jihad melawan hawa nafsu dan jihad kecil adalah jihad
melawan musuh di medan perang.
Dengan
terbebasnya seorang Muslim dari kerisauan pada kematian, rezeki, dan rasa takut,
maka Islam memberi seorang Muslim senjatanya dan alat-alatnya dan ia
memerintahkannya untuk mulai memerangi kekuatan-kekuatan kelaliman di muka bumi.
Allah SWT berfirman tentang umat Islam:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah." (QS. Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah, bagaimana Allah SWT menyebutkan amal makruf
nahi mungkar sebelum keimanan kepada Allah SWT. Ini dimaksudkan agar akal
manusia tergugah akan pentingnya jihad di jalan Allah SWT. Amal makruf dan nahi
mungkar tidak terwujud semata-mata dengan memegang tongkat dan mencambukannya
kepada punggung orang-orang Islam yang tidak solat; ia juga tidak berupa usaha
untuk menahan orang-orang Muslim yang tidak berpuasa. Masalah itu lebih penting
dan lebih besar dari sekadar memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriah,
sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah tidak diperhatikan.
Ayat
tersebut berarti, hendaklah seorang Muslim membawa senjata dan berdakwah di
jalan Allah SWT serta memerangi orang-orang lalim di muka bumi. Abu Bakar
berkata: "Wahai manusia, kalian membaca ayat berikut ini:"
"Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah
orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat
petunjuk," (QS. al-Maidah: 105)
Dan aku
mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya ketika masyarakat melihat orang
yang lalim dan mereka tidak menghentikannya, maka Allah SWT akan menimpakan azab
kepada mereka semua."
Penafsiran Abu Bakar terhadap ayat tersebut sangat jelas
ertinya. Yakni bahawa pelaksanaan ayat tersebut dapat diwujudkan dengan adanya
jihad di jalan Allah SWT dengan mengangkat senjata sebagai usaha untuk
menghentikan orang-orang yang lalim. Setelah itu, seorang Muslim dapat
mengatakan: "Aku telah melaksanakan tugasku dan tidak akan berdampak kepadaku
orang yang sesat setelah aku memberikan petunjuk."
Demikianlah pemahaman orang-orang Islam yang pertama. Maka
bandingkanlah pemahaman tersebut dengan pemahaman kita saat ini di mana kita
telah kehilangan keberanian, dan rasa takut telah menghinggapi tubuh orang-orang
Islam. Kaum Muslim lebih mengutamakan keselamatan diri mereka daripada memerangi
orang- orang yang lalim.
Muhammad
bin Abdillah datang dengan membawa risalah Islam yang di dalamnya terdapat
perintah Ilahi untuk memerangi orang-orang yang lalim dan mempertahankan
kehormatan orang-orang yang tertindas di muka bumi. Allah SWT berfirman:
"kerana itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan
dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barang siapa yang
berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan
Kami berikan kepadanya pahala yang besar. Mengapa kamu tidak mau berperang
dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita
mahupun anak- anak yang semuanya berdoa: 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari
negeri ini yang lalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan
berilah kami penolong dari sisi-Mu. " (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad
bin Abdillah membacakan kepada kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaan
dengan makna kejayaan yang besar:
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin
diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka. Mereka berperang di
jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang
benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih
menepati janjinya (selain) daripada Allah?, maka bergembiralah dengan jual beli
yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. at- Taubah:
111)
Bacalah
ayat tersebut dua kali dan renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT. Betapa
tidak, Dia membeli jiwa orang-orang mukmin dan harta mereka, padahal jiwa
tersebut dan harta tersebut pada hakikatnya adalah milik-Nya sendiri. Lihatlah
bagaimana kemuliaan Allah SWT di mana Dia membeli harta milik-Nya yang khusus
dengan syurga dan bagaimana Allah SWT menganjurkan orang-orang Islam untuk
berperang, dan Dia memberitahu mereka bahawa urusan memerangi orang-orang lalim
dan orang-orang yang tersesat bukanlah hal yang baru atas orang- orang Islam.
Allah SWT telah memerintahkan hal tersebut dalam Injil dan Taurat. Sebagaimana
Nabi Isa diutus dengan pedang,
seperti yang disebutkan dalam lembaran- lembaran atau buku-buku orang-orang
Nasrani, maka Nabi Musa pun diutus dengan membawa pedang. Dan ketika Bani Israil
berkata kepada Nabi Musa, "pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan
kami hanya di sini duduk-duduk saja,", maka kehendak Ilahi menetapkan agar
mereka mendapatkan kesesatan selama empat puluh tahun sebagai akibat dari
perbuatan mereka itu, agar generasi yang lemah dan hina itu hancur yang mereka
justru tidak memenuhi panggilan Allah SWT dan mereka membiarkan Nabi Musa
bersama Tuhannya berperang, padahal peperangan itu merupakan tanggung jawab
mereka dan tugas mereka yang harus mereka emban sebagai pengikut Nabi Musa.
Demikianlah esensi dari ajaran Islam sebagaimana yang
dibawa oleh Muhammad bin Abdillah. Yakni ajakan untuk membaca dan menggali ilmu
serta mendapatkan kebebasan dan yang terpenting adalah usaha melawan
kekuatan-kekuatan lalim. Suatu ajakan yang universal yang tidak dikhususkan
untuk kalangan tertentu atau untuk warna kulit tertentu atau untuk kaum tertentu
atau untuk tempat tertentu; suatu ajakan kemanusiaan yang komprehensif yang
universal yang ingin mengikat ilmu dan kebebasan dan jihad dengan tujuan yang
lebih tinggi, yaitu mencapai tauhid kepada Allah SWT dan menyucikan-Nya serta
keimanan terhadap hari kemudian dan kebangkitan manusia semuanya di hadapan
Allah SWT.
Adalah
salah jika ada orang yang menganggap bahawa Islam hanya memperhatikan aspek
akhirat dan melupakan aspek duniawi. Menurut Islam dunia adalah lembar-lembar
jawapan yang akan di koreksi di hari akhir. Ia adalah ujian dan tempat percubaan
bagi manusia agar manusia mengetahui apakah ia layak untuk mendapatkan kemuliaan
dari Allah SWT yang telah diberikan kepada Adam. Atau apakah ia justru layak
untuk jadi bahagian dari tanah neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman
Allah SWT:
"Yang bahan bakarnya manusia dan batu. " (QS. al-Baqarah:
24)
Rasulullah saw telah menjelaskan hikmah dari penciptaan
manusia, penciptaan kehidupan dan kematian ketika beliau menyampaikan firman
Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia
adalah rumah pergelutan. Dan Allah SWT telah menciptakan kehidupan dan kematian
agar manusia menyedari siapa di antara mereka yang terbaik amalnya. Tentu
pengetahuan ini tidak akan menambah kekuasaan Allah SWT. Pengetahuan itu justru
dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT menciptakan manusia agar manusia mengetahui,
dan pengetahuan yang paling penting adalah pengetahuan atau pengenalan terhadap
diri. Dan pada hari kiamat manusia akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia
akan mengenal balasan yang akan di terimanya secara sempurna.
Dan
barangkali mukadimah yang kami sarikan dari hari akhir ini mengharuskan
kehidupan di atas bumi dipenuhi dengan kesucian dan kebersihan, yaitu diliputi
dengan kemanusiaan yang sempurna yang di dalamnya manusia layak untuk hidup.
Demikianlah Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Inilah asasnya dan hakikatnya.
Itu adalah pondasi dan hakikat yang tidak diciptakan oleh Muhammad saw dan tak
didahului oleh rasul-rasul sebelumnya. Hakikat risalah-risalah yang dulu
semuanya adalah tauhid dan mempertahankan kebenaran serta keimanan terhadap hari
akhir dan menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah SWT. Yang baru
dalam Islam adalah ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran Islam serta warna
keadilan yang sangat kental, sehingga sangat tepat jika dikatakan bahawa
karakter dari Islam adalah keadilan. Barangkali bahagian ini perlu diperhatikan.
Meskipun
agama-agama samawi pada esensinya satu, tetapi kehendak Allah menuntut turunnya
lebih dari agama dan lebih dari satu nabi. Kehendak tersebut menuntut agar pada
setiap agama terdapat karakter yang khusus yang menggambarkan bentuk yang paling
tepat sesuai dengan kebutuhan utama yang di situ agama itu diturunkan dan sesuai
dengan waktu saat itu. Orang-orang Yahudi misalnya, mereka hidup di
tengah-tengah suasana penyembahan berhala di kalangan orang-orang Mesir kuno.
Yahudisme diturunkan pada Bani Israil yang suka membangkang dan kerana itu,
karakter utamanya adalah ketegasan (as- Sharamah) agar mereka tidak terpengaruh
dengan fenomena berhalaisme ala Mesir atau mereka terkena pengaruh dari tindakan
semena-mena Fir'aun. Dengan ketegasan inilah agama Yahudi selamat dan dapat
menjadi risalah penyelamatan dan pembebasan.
Namun
Bani Israil yang memperbudak manusia dan mempunyai hati yang keras pada saat
yang sama mereka keluar dari Fir'aun untuk masuk ke cengkaman orang-orang Romawi
di mana orang-orang Romawi justru lebih lalim dan lebih kuat dari orang-orang
Mesir. Oleh kerana itu, orang- orang Masehi bertanggungjawab untuk melakukan
pembebasan baru tetapi dengan cara yang berbeza sesuai dengan perubahan keadaan.
Cara tersebut adalah menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata kerana kekuatan
orang-orang Romawi mengungguli kekuatan saat itu dan menguasai bumi secara
keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh adalah dengan cara
menghindari tindak kekerasan dan lebih mengutamakan pendekatan cinta. Dan pada
kali yang lain orang- orang Masehi memperoleh kemenangan melalui cara kedamaian
dan cinta yang disebarkannya atas imperialisme Romawi dengan segala senjatanya
dan kekuasaannya.
Adapun
Islam datang sebagai agama yang terakhir dan menyeluruh yang layak untuk
diterapkan di muka bumi, sehingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang
ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak mewarisinya. Oleh kerana itu,
agama yang terakhir ini harus mempunyai karakter khusus dan karakter itu adalah
karakter keadilan.
Ketegasan hanya cocok untuk zaman tertentu dan kelompok
tertentu dan keadaan tertentu, sedangkan cinta adalah contoh yang tertinggi,
tetapi ia tidak dapat menjadi sesuatu tolok ukur untuk dibandingkan dengan
tindakan-tindakan tertentu atau untuk dijadikan alat untuk melakukan sesuatu.
Dan jika ia menjadi tolok ukur bagi orang-orang yang memilki perasaan yang
tinggi atau budaya yang tinggi, maka ia tidak dijadikan tolok ukur umum dan
universal. Adapun keadilan, maka ia menjadi karakter Islam yang berarti
keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan dan meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya. Ini adalah tolok ukur yang menyeluruh dan barometer yang akhir. Dan
barangkali kebesaran keadilan dan pengaruhnya dalam pengaturan alam bersandarkan
kepada firman Allah SWT:
"Allah menyatakan bahawasanya tidak ada Tuhan melainkan
Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu)." (QS. Ali 'Imran: 18)
Apabila
Allah SWT dalam Islam merupakan cermin yang tertinggi, maka keadilan yang
disaksikan oleh Allah SWT terhadap diri-Nya sendiri harus menjadi karakter Islam
dan kaum Muslim. Keadilan dalam Islam bukan hanya keadilan ekonomi atau keadilan
hukum atau keadilan dalam balasan, tetapi ia mencakup semuanya. Sebelum semua
ini dan sesudahnya, keadilan dalam Islam merupakan suatu sistem dalam kehidupan
dan metode utama dalam Islam.
Ketika
Anda memalingkan pandangan Anda dalam Islam, maka Anda akan menemukan keadilan
menghiasi seluruh wajah Islam. Di sana terdapat keadilan antara agama-agama yang
dulu, keadilan antara individu dan masyarakat, keadilan antara dunia dan agama,
keadilan antara lelaki dan wanita, keadilan untuk orang-orang yang fakir dan
orang-orang yang kaya, keadilan antara para penguasa dan rakyat, bahkan dengan
keadilan itu sendiri bumi dan langit ditegakkan dan Allah SWT menyebut diri-Nya
sebagai al-'Adl (Yang Maha Adil).
Selanjutnya, Islam adalah agama yang sudah lama sebagaimana
lamanya kedatangan para nabi. Nabi Nuh as berkata dalam surah Yunus:
"Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta
upah sedikit pun darimu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka dan aku
disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri
(kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail as berkata dalam surah al-Baqarah saat keduanya
membangun Ka'bah:
"Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan Kami,
jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah
kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat
kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang. "
(QS. al-Baqarah: 127-128)
Nabi
Ibrahim tidak lupa untuk berwasiat kepada keturunannya dan di antara mereka
adalah Yakub agar mereka mati dalam keadaan Islam. Allah SWT berfirman:
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anaknya,
Demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): 'Hai anak-anakku, Sesungguhnya Allah
telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk
agama Islam.'" (QS. al-Baqarah: 132)
Ketika
kematian mendekati Yakub, beliau mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya dan
bertanya kepada mereka:
"Apa yang kamu sembah sepeninggalanku? Mereka menjawab:
'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan
Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadanya.'" (QS.
al-Baqarah: 133)
Allah
SWT memberitahu kita dalam surah Yunus tentang perkataan Nabi Musa kepada
kaumnya:
"Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka
bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri."
(QS. Yunus: 84)
Sementara itu, Nabi Sulaiman adalah seorang Muslim sesuai
dengan nas ayat-ayat yang menceritakan tentang kisahnya bersama Ratu Saba'
ketika Ratu tersebut berkata:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat lalim terhadap
diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam."
(QS. an-Naml: 44)
Demikian
juga Nabi Yusuf, beliau berdoa kepada Allah SWT dan meminta kepadanya agar
mematikannya sebagai orang Muslim dan memasukannya dalam kelompok orang-orang
yang saleh. Allah SWT berfirman dan bercerita tentang Yusuf dalam surah Yusuf:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan
kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir
mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan
di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan
orang-orang yang saleh." (QS.Yusuf: 101)
Sementara itu dalam surah al-Maidah, Allah SWT mewahyukan
kepada kaum Hawariyin agar mereka beriman kepadanya dan kepada rasul-Nya lalu
mereka berkata:
"Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahawa
Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." (QS.
al-Maidah: 111)
Jadi,
Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Yakub, Nabi Musa Harun, Nabi Sulaiman,
Nabi Yusuf, Nabi Isa adalah nabi-nabi yang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat
tersebut. Maka seluruh nabi adalah orang-orang Muslim, lalu bagaimana Nabi
Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir dikatakan sebagai orang Muslim yang
pertama?
Allah
SWT berfirman dalam surah al-An'am yang ditujukan kepada Nabi yang terakhir:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya solatku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al- An'am: 162-163)
Maka,
bagaimana beliau menjadi orang Muslim yang pertama, padahal penamaan umat
beliau dengan sebutan al-Muslimin
adalah penamaan yang sebenarnya sudah dahulu
dikenal di kalangan nabi-nabi yang
terdahulu dan kedatangannya ke alam wujud dan
penamaan agamanya dengan sebutan
al-Islam sebenarnya berhutang kepada datuknya
yang jauh, yaitu Nabi Ibrahim.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Hajj:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. (Ikutilah)
agama orang
tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang- orang Muslim
dari
dahulu. " (QS. al-Hajj: 78)
Tidak
ada pertentangan dalam pendahuluan para nabi dengan sebutan al- Muslimin
daripada Rasulullah saw dan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang pertama.
Tentu kata al-Awwal (yang pertama) di sini tidak difahami dari sisi waktu atau
masa kemunculan, tetapi yang dimaksud dengan orang Muslim di sini adalah akmalul
muslimin (orang yang paling sempurna di antara orang-orang Muslim). Suatu kali
Aisyah pernah ditanya tentang akhlaknya Rasulullah saw lalu dia menjawab dengan
kalimatnya yang singkat: "Akhlak beliau adalah Al-Quran."
Kita
mengetahui bahawa Al-Quran al-Karim menetapkan akhlak yang mulia meskipun dalam
batasannya yang sederhana dan rendah, dan menyebutkan keutamaan akhlak dalam
tingkatannya yang tinggi. Oleh kerana itu, akhlak seperti apa yang dimiliki oleh
Rasulullah saw: apakah beliau memiliki akhlak yang sifatnya tengah-tengah, atau
apakah beliau mendahului dalam kebaikan, atau apakah beliau termasuk ashabul
yamin (orang-orang yang berasal di sebelah kanan), atau apakah beliau termasuk
al-Muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah saw tidak hanya memiliki semua karakter tersebut
dan atribut tersebut, bahkan kedudukan beliau lebih dari itu semua. Beliau
berada di puncak dari segala puncak keutamaan akhlak, sehingga beliau berhak
untuk mendapatkan sebutan dari Allah SWT:
"Dan sungguh pada dirimu terdapat budi pekerti yang agung.
" (QS. al- Qalam: 4)
Para
Mufasir berbeza pendapat tentang makna dari al-Huluqul 'adzim (budi pekerti yang
agung). Sebahagian mereka mengatakan bahawa yang dimaksud adalah Al-Quran.
Sebahagian yang lain mengatakan itu adalah Islam. Ada juga yang mengatakan
bahawa beliau tidak memiliki sesuatu kecuali keinginan untuk menuju jalan Allah
SWT.
Dalam
Al-Qur'an al-Karim terdapat penjelasan tentang darjat beliau yang tinggi dalam
dua ayat yang mulia. Ayat yang pertama adalah firman-Nya:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya solatku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al- An'am: 162-163)
Beliau
adalah orang yang paling utama di antara manusia semuanya; beliau memiliki
keutamaan yang melebihi semua manusia; beliau memiliki rahmat dan kemuliaan yang
tidak dapat ditandingi oleh seseorang pun. Meskipun beliau datang sebagai Nabi
yang terakhir namun justru kerana posisi beliau sebagai Nabi yang terakhir, maka
beliau menjadi bata yang terakhir dalam pembangunan rumah kenabian yang tinggi,
sehingga bata yang terakhir itu harus menjadi puncak pembangunan manusia.
Sedangkan ayat yang kedua adalah firman-Nya:
"Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam
semesta." (QS. al-Anbiya': 107)
Beliau
bukan hanya menjadi rahmat bagi orang-orang Arab saja; beliau bukan hanya
menjadi rahmat bagi orang-orang Quraisy dan beliau bukan menjadi rahmat bagi
zamannya saja, begitu juga beliau tidak menjadi rahmat bagi jazirah Arab saja,
tetapi beliau menjadi rahmat bagi alam semesta; beliau senantiasa menjadi rahmat
bagi alam semesta: dimulai dari diturunkannya wahyu kepadanya dengan kalimat
iqra hingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya kepada
orang- orang yang berhak mewarisinya sampai hari kiamat. Alhasil, beliau adalah
rahmat yang dihadiahkan kepada manusia; beliau adalah rahmat yang tidak
menonjolkan mukjizat yang mengagumkan, tetapi beliau adalah rahmat yang memulai
dakwah dengan mengutamakan fungsi akal atau pembacaan dua kitab: pertama,
pembacaan kitab alam atau Al- Qur'an yang diciptakan atau kalimat-kalimat Allah
SWT yang terdiri dari jutaan bentuk dan kedua pembacaan Al-Qur'an yang
diturunkan melalui malaikat Jibril di mana ia merupakan kalamullah yang abadi.
Dan kitab alam dibaca dengan ribuan cara: dibaca melalui penelusuran dunia:
"Katakanlah: 'Berjalanlah kamu di muka bumi dan
amat-amatilah.'" (QS. an-Naml: 69)
Atau
dibaca melalui usaha menyingkap misteri dan penggunaan akal:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga
jelaslah bagi mereka bahawa Al-Qur'an itu adalah benar. " (QS. Fushilat: 53)
Atau
dibaca melalui ilmu dan pengamatan:
"Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat
berdiam, dan yang telah menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang
menjadikan gunung-gunung untuk (mengukuhkan)nya dan menjadikan suatu pemisah
antara dua laut 1 Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan
(sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui." (QS. an-Naml: 61)
Jika di
sana terdapat ribuan jalan atau cara untuk membaca kalimat- kalimat Allah SWT
dan kitab alam, maka di sana terdapat satu jalan untuk membaca kalamullah yang
abadi, yaitu hendaklah Al-Qur'an dibaca dengan mata hati dan kecemerlangan
basirah, sehingga Al-Qur'an menjadi bahagian akhlak dari yang membaca sesuai
dengan kemampuannya.
Sebelum
turunnya Al-Qur'an, dunia diliputi dengan kekurangan, baik secara materi,
rohani, undang-undang mahupun dari dimensi kehidupan yang biasa melekat pada
manusia saat itu. Dan sebelum diutusnya Rasul saw yang beliau adalah manusia
yang sempurna dan paling utama, alam belum mencapai puncak dari penyerahan diri
kepada Allah SWT atau puncak dari keutamaan akhlak. Ketika Rasulullah saw
diutus, maka manusia mengalami kesempurnaan dan mampu mencapai tingkat
kesempurnaannya. Dengan Kitab yang mulia ini dan Nabi yang pengasih, Allah SWT
yang menyempurnakan agama bagi manusia dan menyempurnakan nikmat-Nya atas
mereka, sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Namun
semua itu tidak terwujud begitu saja, Nabi yang mulia harus berjuang secara
serius dan sungguh-sungguh, sehingga beliau menjadi manusia yang paling layak
untuk mendapatkan pujian penduduk bumi dan penduduk langit. Dan Rasulullah saw
telah melakukan semua itu. Kita tidak mengenal seorang nabi yang perasaannya
dihina dan dicaci maki lebih dari apa diterima oleh Muhammad bin Abdillah; kita
tidak mengenal seorang nabi yang memikul berbagai penderitaan, dan memiliki
kesabaran yang mengagumkan di jalan Allah SWT sebagaimana yang ditunjukkan oleh
Nabi kita.
Kemudian, seorang yang diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat
bagi alam semesta tidak akan mengajak manusia menuju kebenaran kecuali jika
manusia tersebut dari kalangan orang-orang yang kafir dan membangkang. Beliau
berdakwah bagi orang yang berhak mendapatkan dakwah; beliau siap memikul
tanggung jawab dakwah dengan berbagai tantangan dan cubaannya; beliau
menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Setelah itu, beliau datang kepada Allah
SWT dengan hati yang puas dan air mata yang bercucuran dan dengan suara berbisik
berkata: "Ya Allah, jika tidak ada kemurkaan pada diri-Mu, maka aku tidak akan
peduli dengan manusia." Segala sesuatu akan menjadi mudah jika di sana terdapat
ridha Allah SWT.
Setelah
turunnya wahyu kepada Rasul saw, beliau memulai tahapan dakwah dan mengajak
manusia untuk menyembah Allah SWT. Dimulailah dakwah secara rahsia yang
berlangsung selama tiga tahun dalam persembunyian.
Mula-mula Ummul Mu'minin, Khadijah binti Khuwailid beriman
kepadanya, lalu beriman juga sahabatnya, Abu Bakar sebagaimana beriman kepadanya
anak pamannya, Ali bin Abi Thalib yang saat itu masih kecil dan hidup di bawah
asuhan Muhammad, dan juga beriman kepadanya Zaid bin Tsabit, seorang
pembantunya. Kemudian Abu Bakar juga ikut berdakwah, sehingga ia memasukkan
dalam dakwah teman- temannya, seperti Usman bin Affan, Thalha bin Ubaidilah, dan
Sa'ad bin Abi Waqas. Juga beriman seorang Masehi, yaitu Waraqah bin Nofel dan
Rasulullah saw melihatnya setelah kematiannya tanda kesenangan yang itu
menunjukkan ketinggian darjatnya di sisi Allah SWT. Setelah itu, Abu Dzar
al-Ghifari juga masuk Islam, lalu disusul oleh Zubair bin Awam dan Umar bin
'Anbasah serta Sa'id bin 'Ash. Jadi, Islam mulai mengepakkan sayapnya secara
rahsia di Mekah.
Kemudian
berita tersebarnya akidah yang baru ini sampai kepada pembesar-pembesar Quraisy,
tetapi mereka tidak begitu peduli. Barangkali mereka membayangkan bahawa
Muhammad telah menjadi - kerana uzlah yang dilakukannya di gua Hira - salah
seorang juru bicara tentang ketuhanan sebagaimana pernah dilakukan oleh Umayah
bin Shalt dan Qas bin Sa'adah.
Demikianlah dakwah secara rahsia berhasil mengembangkan
misinya dan dapat melindungi akidah yang baru. Dan selama perjalanan tiga tahun
yang dibutuhkan tahapan dakwah secara rahsia keimanan telah tertanam dalam hati
kaum Muslim yang pertama. Rasulullah saw telah mendidik mereka dan telah
menanamkan kepada diri mereka sifat-sifat kemuliaan dan telah menciptakan mereka
sebagai benih pertama dari pasukan Islam. Pada suatu hari Jibril turun dengan
membawa firman Allah SWT:
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat." (QS. asy-Syu'ara': 214)
Demikianlah, datanglah perintah Ilahi agar Rasulullah saw
berdakwah secara terang-terangan. Lalu berkumpullah di sekeliling Nabi
sekelompok tentera yang besar dan datanglah perintah Ilahi agar beliau
menyampaikan dakwah secara terang-terangan dan mengingatkan keluarga dekatnya.
Ketika Nabi melakukan hal tersebut, maka dakwah memasuki tahapan yang kedua. Dan
tahapan dakwah yang baru ini berakibat pada timbulnya penekanan terhadap para
dai di mana mereka mengalami penindasan, bahkan mereka didustakan oleh
masyarakat serta diboikot.
Orang-orang Quraisy mengetahui bahawa Muhammad berbahaya
bagi mereka. Beliau bukan hanya berbicara tentang ketuhanan, tetapi beliau
mengajak manusia untuk mengikuti agama baru, yaitu agama yang mencuba untuk
menyingkirkan berhala-berhala dan patung-patung mereka serta tuhan-tuhan mereka
yang mereka yakini; agama yang mencuba menyingkirkan kedudukan sosial mereka dan
kepentingan- kepentingan ekonomi mereka; agama yang menyatakan bahawa tiada
tuhan lain selain Allah SWT, dan tiada hukum lain selain hukum-Nya, serta tiada
penguasa lain selain Dia. Kedatangan agama tersebut menyebabkan penduduk kota
Mekah membencinya dan orang-orang yang memegang kekuasaan di dalamnya merasa
gelisah.
Setelah
pengumuman dakwah secara terang-terangan, dimulailah dan ditabuhlah gendang
peperangan. Kemudian peperangan yang dahsyat terjadi antara para pembesar
Quraisy dan para pengikut Rasulullah saw. Orang yang pertama kali menyerang
Islam adalah seorang tokoh Mekah yang bernama Abu Lahab.
Bukhari
meriwayatkan bahawa Rasulullah saw menaiki bukit Shafa dan beliau mulai
memanggil-manggil tokoh Quraisy dan para kabilah Mekah. Dan ketika semua
berkumpul, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah kalian percaya jika aku
memberitahu kalian bahawa seekor kuda akan datang menyerang kalian?" Mereka
menjawab: "Tentu, kami belum pernah melihatmu berbohong." Beliau berkata: "Aku
seorang yang diutus sebagai pemberi peringatan terhadap kalian. Di hadapanku
terdapat seksaan yang berat jika kalian menentang." Abu Lahab berkata: "Sungguh
celaka engkau, apakah kerana ini engkau mengumpulkan kami."
Dengan
penghinaan inilah, peperangan terhadap Islam dimulai. Ketika kaum Muslim tidak
mampu mempertahankan diri mereka, maka mula- mula Allah SWT membantu mereka dan
menolong mereka dengan menurunkan surah yang pendek yang mengecam tindakan Abu
Lahab:
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan
binasa. Tidaklah bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang dia usahakan.
Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya,
pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. " (QS. Allahab:
1-5)
Dengan
ayat-ayat yang pendek dan tepat tersebut, Abu Lahab memasuki kancah sejarah dari
pintunya yang paling pendek. Gambaran tentang kejahatan Abu Lahab tertulis
selama-lamanya. Abu Lahab adalah seorang yang menentang dakwah kebenaran kerana
ia mengkhuatirkan kedudukannya dan kekayaannya, padahal harta yang
dipertahankannya dan dijaganya tidak memiliki erti sama sekali di sisi Allah SWT
kerana ia sekarang berada dan dimasukkan di tengah-tengah neraka yang menyala-
nyala, sedangkan isterinya membawa kayu bakar, sehingga menambah nyala api itu
sendiri. Dan di lehernya terdapat suatu belenggu sebagai simbol keterikatannya
dengan dunia binatang yang tidak berakal. Sebahagian besar orang-orang yang
menentang dakwah adalah orang- orang yang berhubungan dengan dunia binatang yang
tidak sadar.
Allah
SWT berfirman:
"Atau apakah kamu mengira bahawa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). " (QS.
al-Furqan: 44)
Seandainya hari ini kita merenungkan reaksi orang-orang
kafir dan orang- orang musyrik, maka kita akan terhairan-hairan.
Allah
SWT berfirman:
"Dan mereka hairan kerana mereka kedatangan seorang pemberi
peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: 'Ini
adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan
tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal
yang sangat menghairankan'." (QS. Shad: 4- 5)
Cobak
perhatikan bagaimana kebodohan kaum itu di mana mereka menganggap bahawa pada
hakikatnya terdapat multi tuhan dan mereka justru merasa hairan ketika terdapat
hanya satu tuhan atau tuhan yang esa. Mereka justru merasa hairan ketika
berhadapan dengan masalah yang fitri dan jelas ini.
Allah
SWT berfirman:
"Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka
hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan): 'Inikah orangnya
yang diutus Allah sebagai rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari
sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya. " (QS.
al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah betapa nekadnya kaum itu di mana mereka mulai
menghina dan mengejek Rasulullah saw, padahal beliau telah datang di
tengah-tengah mereka untuk menyelamatkan mereka dari api neraka, dan cuba
perhatikan bagaimana pandangan mereka terhadap tuhan-tuhan mereka. Mereka
membayangkan bahawa mereka nyaris tersesat jika mereka tidak bersabar dalam
membela tuhan-tuhan tersebut. Demikianlah kesesatan mengejek kebenaran dan
kebodohan menghina ilmu. Mereka justru merasa hairan terhadap kepandaiannya yang
dapat menyelamatkannya dari meninggalkan tuhan-tuhannya yang terbuat dari batu
dan kayu, bahkan terkadang mereka membuat tuhan dari adunan roti di mana mereka
menyembahnya kemudian memakannya. Mereka mengatakan bahawa tuhan-tuhan kami
menyelamatkan kami dari rasa lapar atau mereka mengatakan bahawa kami menyembah
mereka agar mereka dapat mendekatkan kami pada Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun
demikian, dakwah Nabi terus berlanjutan dan tertanam di muka bumi. Mereka
orang-orang musyrik menuduh Nabi sebagai seorang dukun; mereka menuduhnya juga
sebagai seorang gila, bahkan mereka menuduhnya sebagai seorang penyihir; mereka
menuduh bahawa beliau berbohong atas nama kebenaran dan beliau dibantu oleh kaum
yang lain; mereka mengatakan ini adalah dongengan orang-orang yang dahulu.
Mereka
meminta kepada beliau untuk mendatangkan mukjizat dengan bentuk tertentu; mereka
memberitahu bahawa mereka tidak akan beriman kepadanya, sehingga terdapat suatu
mata air yang memancar dari bumi atau terwujud di depan mereka suatu taman dari
pohon kurma dan anggur yang memancar di tengah-tengahnya sungai, atau langit
akan runtuh sebagaimana yang beliau sampaikan kepada mereka sebagai bentuk azab
atau beliau datang dengan Allah SWT dan para malaikat dan mereka semua menjamin
kebenaran dakwah yang diserukannya, atau beliau memiliki rumah dari emas atau
beliau mampu mendaki langit dan mereka masih belum beriman terhadap pendakian
itu meskipun ia mendaki di hadapan mata mereka dan kembali dengan selamat,
kecuali jika ia menghadirkan kitab kepada mereka yang dapat mereka baca dari
langit.
Nabi
tidak peduli dengan usaha mereka untuk menyakiti hati beliau; Nabi tetap
memberitahu mereka dengan penuh kelembutan bahawa apa saja yang mereka minta itu
tidak sesuai dengan Islam. Sebab, Islam hanya menyeru akal dan berusaha
menciptakan kebebasan. Beliau menyampaikan kepada mereka bahawa beliau hanya
sekadar manusia yang diutus oleh Tuhan; beliau datang kepada mereka untuk
mengingatkan mereka akan suatu hari di mana seorang tua tidak akan menyelamatkan
anaknya dan tidak bermanfaat di dalamnya harta dan anak-anak, dan mereka tidak
akan selamat di dalamnya dari seksaan. Orang-orang yang mempunyai kedudukan atau
para tokoh mereka adalah para tiran-tiran di muka bumi di mana semua itu tidak
akan bermanfaat bagi mereka pada hari kiamat. Seksaan yang bakal mereka terima
tidak dapat mereka hindari dan mereka pun tidak dapat meringankannya.
Demikianlah Islam - sebagaimana agama-agama sebelumnya -
mengumpulkan di sekelilingnya orang-orang yang berakal dan orang- orang yang
fakir serta orang-orang yang menderita di muka bumi. Berimanlah sekelompok
orang-orang fakir di mana mereka menjadi kelompok sosial yang tertindas dan
tersingkirkan di Mekah. Mereka menjadi makanan empuk kelompok-kelompok yang
zalim.
Islam
bukan hanya memberikan solusi ekonomi terhadap tragedi kehidupan atau
masyarakat, tetapi Islam memberikan solusi Ilahi terhadap keberadaan manusia
secara umum; Islam meyakini bahawa manusia bukan hanya sekadar perut yang harus
dikenyangkan dan naluri seksual yang harus dipuaskan, manusia bukan hanya di
lihat dan dinilai dari sisi ini, namun Islam justru meletakkan manusia pada
tempatnya yang hakiki, tanpa membesar-besarkan atau mengecilkannya. Dalam
pandangan Islam, manusia terdiri dari bangunan fizik dan rohani, terdiri dari
akal dan ambisi dan terdiri dari celupan dari Allah SWT dalam rohnya.
Islam
tidak mementingkan fizik saja dan meninggalkan rohani, begitu juga sebaliknya.
Terkadang fizik boleh jadi mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan, tetapi
rohani justru mengalami penderitaan yang luar biasa. kerana itu, pemuasan salah
satu dimensi dari dimensi manusia tidak akan membawa manusia kepada kesempurnaan
atau kebahagiaan. Maka, Islam datang untuk membawa suatu solusi yang dapat
menyelamatkan manusia dari dalam dirinya sendiri dan Islam membebankan tugas
ini, yakni tugas perubahan ini kepada Al-Qur'an.
Al-Qur'an menjadi cermin dalam kehidupan di mana
ayat-ayatnya diturunkan kepada Rasul saw, lalu beliau mengajarkannya kepada kaum
Muslim. Kemudian Al-Qur'an berubah menjadi orang-orang yang berjalan di
pasar-pasar dan mengancam singgasana kebencian yang menguasai Mekah, sehingga
orang-orang musyrik justru meningkatkan usaha pengejekan dan penghinaan terhadap
Rasul saw. Oleh kerana itu, beliau semakin sedih lalu Allah SWT menghiburnya.
Allah SWT memberitahu beliau bahawa mereka tidak mendustakannya, tetapi mereka
justru melalimi diri mereka sendiri. Mereka mulai menentang Nabi dan ayat- ayat
Allah SWT, padahal Nabi adalah salah satu dari ayat Allah SWT.
Allah
SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami mengetahui bahawasanya apa yang mereka
katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), kerana mereka
sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang lalim itu
mengingkari ayat-ayat Allah." (QS. al- An'am: 33)
Kemudian
kaum musyrik meningkatkan penindasan kepada Rasul saw dan para pengikutnya.
Peperangan dimulai: dari peperangan urat saraf sampai peperangan fizik. Mereka
mulai menyeksa para pengikut Rasul saw, bahkan membunuhnya. Pada saat itu,
musuh-musuh Islam membayangkan bahawa dengan cara menindas kaum Muslim dan
menekan mereka dakwah Islam akan berhenti dan kaum Muslin akan enggan untuk
berdakwah. Mereka menganggap bahawa kaum Muslim justru memilih untuk
menyelamatkan diri mereka. Namun para tokoh- tokoh Quraisy dan para tokoh-tokoh
Mekah dikejutkan ketika melihat penekanan yang mereka lakukan justru semakin
membakar semangat kaum Muslim untuk berdakwah. Saat itu kaum Muslim merasa yakin
bahawa benih yang telah ditanam Rasulullah saw dalam diri mereka menjadikan
mereka tetap bersemangat untuk menyebarkan risalah Allah SWT di muka bumi, yaitu
suatu risalah yang mengembalikan bumi menuju kematangan (kesempurnaan) yang
telah hilang darinya dan kemanusiaan yang telah disia-siakan serta kehormatan
yang telah ditumpahkan dan kebebasan yang telah hilang.
Kaum
Muslim yakin bahawa mereka bukan hanya membangun suatu negeri yang kecil di
Mekah, dan mereka bukan hanya memperbaiki masyarakat yang rosak, yaitu
masyarakat jazirah Arab, tetapi mereka mengetahui bahawa mereka akan membangun
suatu manusia yang baru. Mereka akan menciptakan manusia seutuhnya; mereka akan
menghadirkan dunia dalam bentuk yang baru dan dalam gambar yang baru yang
merupakan cermin dari gambar kebesaran sang Pencipta.
Sebelum
kedatangan Islam, orang-orang Arab tidak dikenal. Dibandingkan dengan peradaban
yang dahulu dan moden, orang-orang Arab tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak
memberikan kontribusi kepada dunia dalam bentuk ilmu, seni, atau peninggalan apa
pun yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan. Namun ketika Islam turun kepada
mereka, mereka menjadi cermin kejayaan manusia di mana mereka dapat memberikan
sumbangan nyata pada umat manusia. Bahkan orang-orang Barat banyak berhutang
kepada mereka dalam kemajuan yang mereka capai saat ini. Sebaliknya, ketika
mereka berpaling dari Islam di mana Islam hanya menjadi lembaran cerita-cerita
dan kertas-kertas yang tidak berguna, maka saat itulah orang-orang Barat dapat
menguasai kaum Muslim kerana mereka justru mendapatkan ilmu dari Kaum Muslim itu
sendiri. Mereka justru mencapai kemajuan ketika kaum Muslim meninggalkan agama
mereka. Jadi, ketika kaum Muslim memahami Islam secara benar dan berusaha untuk
menghidupkan ajaran-ajarannya nescaya mereka akan mencapai puncak keilmuan.
Pada
awal-awal masa tersebarnya Islam, kaum Muslim menyedari bahawa mereka menghadapi
peperangan yang tidak akan berhenti. Selama kehidupan ada, maka pertentangan pun
tetap ada. Oleh kerana itu, ketika mereka mendapatkan penganiayaan dan seksaan,
maka keimanan mereka justru semakin meningkat, dan setiap penganiayaan yang
dilakukan oleh kaum Quraisy, maka mereka tetap bertahan untuk mempertahankan
kebenaran. Sebagai contoh, Amar bin Yasir mengalami penderitaan dan
penganiayaan. Ia adalah salah seorang budak yang menjadi korban dari sistem
ekonomi yang berlaku saat itu, yaitu ekonomi yang berdasarkan kepada sistem
perbudakan. Seorang yang beriman tersebut diseksa di Mekah di mana ia tidak
memperoleh kebebasannya yang hakiki kecuali setelah ia memeluk Islam. Mereka
mengeluarkannya ke gurun dan menyeksanya berserta ibunya. Bahkan seksaan semakin
meningkat atas ibunya agar ia kembali menjadi musyrik. Ketika ia tetap
mempertahankan keimanannya dan dengan tegas menolak ajakan untuk menentang
Islam, maka Abu Jahal menikamnya dengan belati yang ada di dua tangannya. Ia pun
meninggal. Dan Islam mengorbankan syahidnya yang pertama. Wanita mulia itu
bernama Sumayah, ibu dari Amar bin Yasir.
Banyak
kalangan orang-orang bodoh mengatakan tentang persetujuan Islam terhadap sistem
perbudakan, atau Islam mendiamkan sistem perbudakan. Mereka lupa bahawa Islam
dibangun berdasarkan suatu prinsip yang ingin membebaskan perbudakan dengan
segala bentuknya; Islam ingin mengeluarkan manusia dari kepemilikan sesama
manusia menuju kepemilikan kepada Allah SWT.
Jika
Islam tidak turun dengan nas-nas yang terperinci yang mengharamkan sistem
perbudakan, maka dasar-dasarnya secara umum dan prinsip-prinsip utamanya
menghentikan - baik dalam tindakan mahupun ucapan - sumber-sumber sistem ini.
Allah SWT sebagai pemilik syariat mengetahui bahawa sistem perbudakan adalah
sistem ekonomi yang sementara yang akan berubah dengan perubahan waktu, dan
kerana Islam tidak turun pada waktu yang terdapat perbudakan saja, tetapi ia
turun secara umum dan menyeluruh untuk setiap zaman, maka Islam sengaja melewati
bentuk-bentuk yang sementara ini dari bentuk-bentuk eksploitasi menuju unsur
yang pertama atau dasar pertama yang menimbulkan bentuk-bentuk eksploitasi
tersebut, sehingga Islam mengharamkannya. Dengan cara demikian, Islam
mengharamkan sistem perbudakan secara bertahap, seperti proses pengharaman
khamer. Jadi, keseriusan Islam sangat menonjol dalam usaha menghapus dan
mengharamkan perbudakan.
Jika
dikatakan kepada kita bahawa Islam membolehkan para tenteranya untuk memperbudak
para tawanan perang, maka kita akan mengatakan bahawa Islam menerapkan sistem
ini sebagai bentuk pembalasan terhadap perlakuan yang sama di mana musuh-musuh
Islam menjadikan kaum Muslim sebagai budak-budak mereka ketika mereka
menawannya. Oleh kerana itu, secara alami orang-orang Islam pun menawan mereka
sebagai budak-budak. Jika Islam tidak melakukan yang demikian, maka boleh jadi
Islam akan dimain-mainkan dan ada kesempatan besar bagi orang-orang musyrik
untuk memperdaya Islam.
Demikianlah bahawa dakwah Islam mengalami berbagai macam
hambatan dan penindasan. Dan ketika orang-orang yang terseksa mengadu kepada
Rasulullah saw atas penindasan yang mereka terima, maka Rasulullah saw
memberitahu mereka dengan pembicaraan yang jelas bahawa para dai di jalan Allah
SWT harus mengorbankan kesenangan mereka, kedamaian mereka, dan darah mereka
sebagai harga yang pantas untuk tersebarnya dakwah Islam. Kebebasan bukan
diperoleh dengan cuma-cuma. Sejarah kehidupan menceritakan kepada kita bahawa ia
dipenuhi dengan gumpalan darah yang harus dibayar oleh masyarakat untuk
memerangi musuh-musuhnya dari luar dan dari dalam. Jika ini dialami setiap orang
yang menuntut kebebasan pada zaman dan tempat tertentu, maka bagaimana dengan
orang-orang yang menuntut kebebasan manusia secara keseluruhan.
Seorang
Muslim hendaklah sadar bahawa dengan mengumumkan dakwahnya, maka ia pasti akan
menerima pengusiran, penindasan, penjara, pengepungan dan pembunuhan. Ini adalah
harga yang pantas yang harus dibayar ketika berdakwah di jalan Allah SWT; inilah
harga kebebasan. Bahkan terkadang kaum yang batil pun membayamya dengan senang
hati, maka bagaimana mungkin orang-orang yang bersama kebenaran ragu untuk
melakukannya.
Pada
hakikatnya, manusia cinta kepada keabadian. Secara naluri manusia merasa takut
pada azab dan kematian. Dan barangkali yang membezakan orang-orang Islam yang
hakiki dengan yang lainnya adalah bahawa mereka terbebas dari rasa ketakutan dan
cinta keabadian. Ini adalah tolok ukur yang pasti untuk membezakan antara
seorang Muslim yang hakiki dan seorang Muslim yang hanya namanya atau Muslim
warisan atau hanya klaim semata.
Seorang
Muslim yang hakiki menyedari bahawa ajal di tangan Allah SWT, rezeki ada juga di
tangan-Nya, begitu juga keamanan semua ada di tangan-Nya. Dengan keimanan
seperti ini, ia memulai pergelutannya untuk menyebarkan dakwah. Ia siap untuk
menerima penyeksaan dan penderitaan di jalan Allah SWT; ia pun siap menitiskan
darahnya sebagai harga yang pantas yang diserukannya dalam rangka memperoleh
kebebasan. Ini semua dilakukannya dengan begitu sederhana dan tidak ada rasa
takut kerana Islam membebaskannya dari rasa ketakutan. Dahulu para pembangkang
menggergaji orang-orang yang menyeru di jalan Allah SWT dengan menggergaji saat
mereka dalam keadaan hidup- hidup.
Khabab
bin Irit pergi menemui Rasulullah saw dan meminta tolong kepada beliau dari
penyeksaan orang-orang Quraisy, sambil berkata: "Tidakkah engkau menolong kami,
wahai Rasulullah? Tidakkah engkau berdoa kepada kami, ya Rasulullah?" Rasulullah
saw menjawab: "Sungguh sebelum kalian terdapat orang-orang yang berdakwah di
jalan Allah SWT lalu mereka dimasukkan dalam suatu galian tanah lalu mereka
digergaji di mana tubuh mereka di pisah menjadi dua, namun mereka tetap
mempertahankan agamanya. Demi Allah, sungguh Allah SWT akan menolong masalah ini
tetapi kalian terlalu tergesa-gesa."
Dengan
kalimat-kalimat yang penuh kesabaran dan keberanian ini, Rasulullah saw ingin
memahamkan kepada orang tersebut bahawa termasuk dari kesempurnaan iman adalah
membayar harga kebebasan. Jelas sekali bahawa Islam tidak memberikan keuntungan
bagi orang yang memeluknya. Orang-orang Islam yang pertama tidak bertanya dan
mengatakan: "Apa yang kita peroleh dari agama ini?" Sebaliknya, mereka bertanya:
"Apa yang kita bayar untuk Islam?" Jawapannya adalah: "Segala sesuatu dimulai
dari suapan-suapan roti sampai darah yang tertumpah." Jadi, kaum Muslim yang
pertama telah membayar ongkos kebebasan. Mereka merasakan kedamaian yang luar
biasa untuk mempertahankan agama Allah SWT; mereka mendapatkan kepercayaan yang
tinggi tentang kemenangan kebenaran yang datang kepada mereka; mereka justru
memberitahu orang-orang musyrik bahawa mereka akan dapat mengalahkan raja-raja
Kisra dan Kaisar. Dengan dakwah yang mereka lakukan, mereka akan menjadi
pemimpin-pemimpin di muka bumi. Kaum musyrik justru memanfaatkan kepercayaan ini
untuk mengejek mereka dan mentertawakan mereka.
Ketika
Aswad Ibnu Matlab dan orang-orang yang bersamanya melihat sahabat-sahabat Nabi,
maka mereka mengejek dan mengatakan: "Telah datang kepada kalian
pemimpin-pemimpin bumi yang esok akan mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar,
kemudian mereka bersiul dan bertepuk tangan." Namun kaum mukmin tidak peduli
dengan ejekan tersebut. Demikianlah bahawa ejekan demi ejekan terus menyertai
dakwah kaum Muslim. Kemudian kaum Quraisy mengadakan pertemuan yang bersejarah
untuk menyatukan pandangan dalam rangka menyerang Rasulullah saw. Kaum musyrik
menuduhnya bahawa beliau adalah seorang ahli sihir, dan pada kali yang lain
mereka menuduhnya bahawa beliau adalah dukun, dan pada kali yang lain lagi
mereka menuduhnya bahawa beliau adalah penyair, bahkan pada kali yang lain
mereka menuduhnya bahawa beliau adalah seorang yang gila. Kemudian mereka semua
sepakat untuk menuduh bahawa beliau adalah seorang penyihir.
Walid
bin Mughirah yang terkenal sebagai orang yang terpandang di kalangan mereka
menuduh Rasulullah saw sebagai penyihir yang dapat memisahkan antara sesama
saudara dan antara seseorang dengan isterinya. Kemudian mereka membikin
kelompok-kelompok yang mengingatkan para pendatang di Mekah bahawa Muhammad
adalah seorang penyihir. Meskipun demikian, dakwah Islam tetap berlangsung. Ia
tetap tersebar dengan pelan namun pasti dan kalimat-kalimat yang diutarakan Nabi
justru mengingatkan perjanjian yang pernah dilakukan oleh manusia, yaitu
perjanjian saat Allah SWT menyaksikannya ketika mereka masih di alam atom di
punggung Adam:
Tiada ulasan:
Catat Ulasan